Siang itu saya diajak keliling ke Balaroa, lokasi yang pernah terjadi musibah likuifaksi. Ratusan harta benda dan nyawa terkubur dalam tanah. Semula di lokasi ini adalah komplek perumahan padat penduduk. Komplek perumahan pertama di kota Palu. Artinya komplek ini sudah lama menjadi tempat hunian.
Sekarang kondisi sudah berubah menjadi hamparan tanah kosong yang ditumbuhi rerumputan liar. Bendera merah putih setengah tiang masih berkibar dengan tiang bambu tertancap di tengah hamparan lahan sepi itu.
Saya memandang sekeliling. Sebagian besar banguan rumah penduduk rusak dan hancur tinggal puing yang menumpuk. Hanya sedikit yang masih tampak berdiri dalam kondisi miring, retak dan tanpa atap.
Di sekitar lokasi itu tampak 4 bangunan gedung walet yang juga ikut terkena dampak keras gempa September 2018 lalu.
Saya sempat memotret gedung walet yang rusak dan sudah tidak bisa berfungsi kembali. Semoga musibah itu tergantikan dengan yang lebih baik lagi. Ini menjadi hikmah bagi kita semua. Ternyata harta benda dan nyawa hanya titipan sementara. Sewaktu-waktu bisa diambil oleh pemilikNya.
Sore hari saya mengontrol gedung walet 3 lantai bercat putih yang berdiri 8 tahun lalu di desa Duyu, Tatanga. Lokasi di perbukitan tidak jauh dari Balaroa. Menurut penuturan pak Syaiful, karena posisi di lereng perbukitan, saat tsunami menyapu dan memporak porandakan gedung, rumah, toko, hotel yang terletak sekitar pantai Talise, dari teras rumah terlihat jelas detik-detik bencana itu terjadi.
Pak Syaiful adalah paman pemilik gedung walet. Beliau menyambut hangat kedatangan kami dan mempersilahkan duduk. Sejenak saya amati halaman rumah yang asri dengan back ground perbukitan hijau. Di lokasi ini banyak burung walet beterbangan menyambar makanan. Memang daerah ini termasuk tempat koloni walet mencari makan. Suhu sore itu sekitar 26 derajat celcius. Angin berhembus tidak terlalu keras. Di lokasi ini saya bisa memandang kota Palu. Saya juga bisa melihat teluk Palu yang indah dengan air yang biru. Air laut yang saat itu tiba-tiba berubah menjadi kekuatan dahsyat.
Beberapa saat kemudian kami berjalan kaki menuju gedung walet yang terletak di belakang rumah. Pak Syaiful segera membuka pelan pintu besi dan ber-cor tebal. Aroma tai walet mulai tercium tapi tidak menyengat. Saya masuk gedung ditemani Agen Palu, bang Ahmad Ariadi. Suhu dan kelembapan gedung terasa sudah memenuhi syarat. Bangunan ukuran 8 m x 12 m ini sangat kokoh. Saya amati tidak ada retak pada dindingnya. Padahal saat gempa terjadi goyangannya juga sangat keras terasa. Alhamdulillah masih utuh. Bahkan miringpun tidak. Bangunan gedung walet ini memang sangat kokoh. Tebal dinding lantai bawah 50 cm. Terdiri dari susunan batu. Karena dinding cukup tebal, ketika akan dijebol maling, tidak berhasil. Pernah suatu hari ada orang berniat jahat mencoba mengebor dinding, namun karena dinding dari susunan batu serta tebal, usaha maling itu gagal. Esok pagi pak Syaiful melihat ada bekas lubang bor sedalam 15 cm.
Tak lama saya masuk ke dalam gedung. Populasi walet merata di semua lantai. Sarangnya putih bersih dan banyak sarang mangkok. Pak Syaiful memang rajin membersihkan kotoran walet tiap seminggu sekali, sehingga tak banyak kotoran menumpuk di lantai. Kondisi dalam gedung yang bersih tidak akan menyebabkan timbul zat amoniak. Kondisi yang sehat membuat populasi burung walet juga sehat.
Selesai kontrol, ada beberapa catatan yang saya sampaikan. Antara lain pertama, pemasangan kabel twiter lebih baik dipaku rapi di bawah papan sirip. Jangan melintang menyebrang antar papan sirip. Ini akan mengganggu walet. Terbukti di sekitar papan sirip yang ada kabel melintang itu tampak kosong tak ada walet bersarang. Saya menunjuk ke sirip yang kosong. Pak Syaiful mengangguk tanda paham. Menurutnya itu kabel tambahan karena ada jalur kabel yang putus.
Catatan kedua, pagar kayu di bibir void setinggi 1 meter yang dimaksudkan sebagai pagar keamanan, harus dibongkar. Ini agar manuver burung walet saat terbang menukik turun ke lantai bawah dan keluar gedung, bebas tanpa gangguan. Yang ketiga, agar sarang merata pada semua blok ruangan, perlu ada tambahan sekat gantung.
Semua masukan ini dicatat pak Syaiful dan akan segera dikerjakan.
Matahari perlahan mulai turun di punggung bukit. Cahaya langit mulai redup. Dari jauh nampak koloni burung walet terbang meliuk-liuk pulang bergiliran masuk gedung. Saya bersalaman pamit pulang ke hotel.
Diperjalanan Bang Ahmad cerita, pasca musibah Palu, minat masyarakat untuk membangun gedung walet sudah lesu. Mereka takut jika suatu hari terjadi gempa lagi.