Perjalanan dari gerbang tapal batas antara Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat menuju Nanga Tayap Kabupaten Ketapang terasa cepat sekali. Ternyata saya tertidur di perjalanan. Mobil sudah parkir di depan Losmen Cermai. Ini penginapan tua dua lantai yang dibangun sejak tahun 1990. Lantai atas untuk losmen dan lantai bawah digunakan jualan kopi dan kelontong.
Nama ownernya Talib. Usianya sekitar 40 tahun. Asal dari Purwokerto Jawa Tengah. Sudah lama beliau bermukim di desa ini. Setelah basa basi sejenak, saya order kopi hitam. Sambil menunggu pesanan, saya ke surau Babussalam yang terletak di belakang losmen untuk menunaikan shalat jamak qoshor duhur dan ashar.
Di desa Nanga Tayap ini saya lihat sudah banyak rumah walet. Dibangun di tepi jalan dan kampung. Menurut Pak Talib jumlah rumah walet di daerah ini sekitar 200 an. Sebagian besar bangunan non permanen berdinding seng dengan tinggi rata-rata 3 lantai. Sebagian besar desain bangunan menggunakan rumah monyet atau kotak sabun.
Di depan losmen terdapat lapangan olah raga. Tampak di sekitarnya bangunan rumah walet saling berlomba membunyikan suara walet elektronik. Saya berjalan sampai ke jembatan kecil sambil melihat bangunan rumah walet lainya. Kesimpulan saya persaingan di sini sudah lumayan ketat. Sejak 2 tahun ini banyak rumah walet dibangun. Sebagian besar mungkin hanya ikut-ikutan. Karena itu tidak sedikit rumah walet yang kurang produktif. Mungkin karena kesalahan menentukan posisi void dan pengaturan tata ruang. Bisa juga kondisi iklim mikro kurang diperhatikan dengan benar. Menurut Talib, sebagian besar bangunan rumah walet milik para pendatang dari Ketapang. Hanya sebagian kecil milik warga asli.
” Sebenarnya sekitar tahun 90 an saya sudah rencana membangun rumah walet. Persiapan sudah 90%. Tiang kayu ulin sudah saya siapkan juga. Waktu itu belum ada orang yang membangun rumah walet di Nanga Tayap ini. Namun rupanya rezeki walet belum berpihak. Masyarakat disini tidak memberi izin. Akhirnya kayu yang sudah saya siapkan, saya gunakan untuk membangun losmen, ” kata Talib mengenang masa silam.
Agar tidak kemalaman, mobil yang mengantar kami siap berangkat menuju Ketapang. Informasi dari driver Apung, perjalanan akan lambat disebabkan jalan di ujung proponsi Kalimantan Barat ini rusak dan berlubang. Boleh dibilang berbeda 180% dengan kondisi jalan di Kab. Lamandau Kalimantan Tengah yang beraspal mulus.
Diperkirakan perjalanan akan memakan waktu 4 jam dari Nanga Tayab ke Kota Ketapang. Semoga jalan tidak amblas seperti bulan sebelumnya. Jika ternyata jalan amblas, maka kemungkinan kita akan tidur di mobil. Bisa jadi sampai kota Ketapang esok hari.
Mendengar informasi tersebut dalam hati saya pasrah saja. Apapun yang terjadi kita hadapi. Sebab perjalanan sudah tanggung. Posisi berada di pertengahan antara Pangkalanbun – Ketapang. Bismillah mari kita lanjut.
Mobil melaju pelan melalui jalan pintas kampung Dayak desa Tebuar. Jalan berupa tanah sebagian aspal yang sudah rusak. Beberapa rumah walet dibangun di tepi jalan. Jalan berkelok naik turun. Laju mobil paling cepat hanya 40 km/ jam.
Sampailah kami melewati pasar Sungai Melayu Raya. Suara walet elektronik semakin ramai bersahutan. Warga memanfaatkan ruko lantai atas untuk budidaya walet. Di lantai bawah untuk berjualan.
Sore itu koloni walet mulai pulang ke kandang. Suara cericitnya bersahutan terdengar di langit. Matahari mulai perlahan turun. Dan jalanan tetap saja rusak bergelombang. Mobil bergoyang sebentar ke kanan sebentar ke kiri memilih jalan bagus yang sulit ditemukan.
Mobil terus berjalan. Sampailah kami di daerah Indo Tani. Di sini jalan makin parah. Lokasi daerah ini gambut. Air hujan menggenangi. Jalan berlubang agak dalam. Truk bermuatan CPU beriringan.
Saya lihat banyak burung walet terbang rendah di atas lahan gambut menyambar serangga. Di lokasi ini belum banyak orang membangun rumah walet. Peluang untuk berhasil sangat terbuka lebar.
Hari berangsur gelap. Suara walet elektronik sudah off sesuai timer. Berganti suara musik dari cafe yang berlampu remang di kanan kiri jalan Indo Tani. Mobil terus berjalan pelan. Tampak beberapa anak muda berdiri di tengah jalan minta sumbangan ala kadarnya.
” Tak lama lagi kita akan sampai di jalan beraspal Simpang Pelang. Dari persimpangan itu jarak ke kota Ketapang sudah tidak jauh lagi, sekitar 30 menit, ” jelas Apung.
Saya membetulkan sandaran jok mobil. Mata sudah mulai berat. Menuju Ketapang saya tidur sejenak.