Negara Indonesia adalah negara yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Ini karena wilayah indonesia termasuk negara tropis dengan curah hujan yang tinggi selama 6 bulan. Diperkirakan sebanyak 300 ribu jenis satwa liar hidup di bumi pertiwi ini. Dalam catatan IUCN ( International Union for Conservation of Nature) terdapat 1538 jenis burung dimana 20 % burung termasuk satwa endemik.
Meskipun kaya dengan aneka satwa, ancaman terhadap kehidupan mereka bukan tidak terjadi. Ancaman tersebut bisa karena faktor alam yang rusak maupun dari faktor manusia yaitu terjadinya perburuan satwa.
Bagaimana dengan populasi burung walet ( Colocalia fushipaga) yang hidup subur di Indonesia ini. Apakah ancaman terhadap satwa unggas unik ini juga terjadi?
Ancaman kepunahan populasi walet di gua sudah terjadi. Salah satunya di Gua Karangbolong Kebumen Jawa Tengah. Gua Karangbolong sebelumnya menjadi ikon walet di Indonesia. Gua raksasa yang berada persis di bibir pantai selatan menghadap lautan Hindia Belanda ini ditempati jutaan burung walet.
Hak kepemilikan gua tersebut beserta nilai ekonomi sarang burung waletnya sepenuhnya dikuasai oleh Pemda Kebumen.
Pada musim panen, pemda melelang ke pihak ke 3 untuk melakukan panen sarang burung di gua ini. Dengan peralatan sederhana yaitu bentangan tiang bambu dan tali panjang yang saling berkait di dalam rongga gua yang luas dan tinggi itu, para pemanen dengan resiko taruhan nyawa mencari rupiah dari prosentasi jumlah hasil panen secara berkelompok.
Pada 20 sampai 30 tahun lampau hasil dari panen masih sangat besar, bahkan merupakan incam primadona bagi PAD Kebumen. Namun belakangan ini jumlah panen merosot dan terus merosot. Ini akibat pola panen yang salah. Pola panen yang tidak memikirkan faktor kelestarian populasi walet di gua tersebut.
Pemda Kebumen tentu sangat rugi besar. Masyarakat sekitar pun tak lagi ada job panen sarang walet gua. Populasi burung walet di gua Karangbolong telah mendekati punah. Kejayaan walet gua yang pernah di shooting oleh beberapa stasiun televisi swasta itu ke depan bisa tinggal sejarah.
Kasus tersebut juga terjadi di gua walet sekitarnya seperti gua Karangduwur juga gua Pasir.
Gua walet di Kalimantan Barat juga mengalami hal serupa yaitu penurunan produksi. Gua gua di dalam hutan Uncak Kapuas dirasakan menurun hasil panennya. Yang semula hasil panen bisa mencapai 2 sampai 5 kwintal, belakangan menyusut drastis tinggal hitungan kilo saja.
Di Kalimantan Timur yang memiliki 100 lebih gua walet yang tersebar di 13 kecamatan, antara lain gua Kimanis, gua Ranggasan, gua Kilayak, belakangan ini produksinya juga menyusut karena populasi walet semakin tahun semakin berkurang. Faktor yang dominan karena telah terjadi pola panen yg salah.
Suatu siang bulan Januari kemarin, saya bersama team duniawalet Kalteng, Bang Reza, Mas Taufik dan Mas Budi diundang makan siang di restoran seefood terkenal di Pangkalanbun. Owner sekaligus chiefnya asal Pontianak dan pelanggan setia produk BAN. Dua gedung waletnya mulai berkembang setelah konsultasi tata ruang dan posisi LMB yang tepat. Namun perkembanganya lambat. Beliau memaklumi kondisi Pangkalanbun yang tidak lagi banyak walet muda. Itu disebabkan pola panen yang mengeksploitasi yaitu panen sarang rampasan dan panen buang telur.
“Nafsu panen serakah itu sudah berlangsung bertahun tahun dan hampir mayoritas dilakukan petani walet. Apalagi saat harga mencapai Rp 26 jt/ kg, panen totalpun tak terelakkan.”
” Menurut saya, saat ini agak susah untuk dapat walet muda masuk ke dalam gedung. Sebab hanya sedikit anakan yang selamat dari pola panen rampasan dan menjadi rebutan ratusan gedung walet di Pangkalanbun ini,” lanjut member BAN ini serius.
Kami mendengarkan penjelasan itu sambil menikmati hidangan kepiting asam pedas dan udang galah yang digoreng pakai saus telur asin yang sudah tersaji di atas meja.
Kasus panen rampasan baik di gua maupun pada gedung walet sudah pasti akan menimbulkan dampak buruk yaitu merosotnya produksi disebabkan tidak ada lagi generasi penerusnya. Beberapa kota di Kalimantan sudah merasakan hal itu. Gedung walet di kota tersebut sebagian besar dihuni walet indukan yang sudah tua dan tak lama akan menemui ajalnya, sementara walet muda jumlahnya sedikit. Regenerasi walet tidak berjalan dengan baik.
Apakah gua gua walet bisa pulih seperti semula dengan produksi yang kembali berlimpah?
Apakah gedung walet di kota yang selama ini selalu dilakukan panen rampasan sehingga populasinya menurun, bisa kembali membaik dan produktif?
Untuk menyelamatkan populasi walet di gua gua di Indonesia ini yang jumlah sangat banyak, menurut saya sudah saatnya pemda setempat membuat peraturan daerah. Populasi walet gua sudah saatnya dilindungi agar tidak musnah, seperti halnya pemerintah melindungi satwa liar lainnya.
Yang terjadi sekarang, pemda seolah cuek saja dan membiarkan populasi walet gua menyusut tanpa ada solusi, apalagi tindakan serius yang positif. Padahal mengembalikan populasi walet gua agar bisa kembang lagi tidak membutuhkan waktu lama. Sekitar 10 tahun ke depan, bisa kembali bagus populasinya. Bukankah sarang walet merupakan komoditas ekspor non migas yang memiliki ekonomi tinggi dan menyumbang devisa negara yang tidak sedikit? Sayang jika potensi ekonomi ini tidak terurus.
Untuk melakukan pemulihan agar populasi yang telah menyusut itu kembali berkembang memang ada syaratnya, antara lain habitat alam berupa sumber pakan di sekitarnya masih mendukung. Selain itu pada saat proses pemulihan populasi walet, gua harus serius dijaga jangan sampai terjadi perusakan habitat. Menurut hemat saya, masih terbuka peluang untuk mengembalikan populasi walet gua kembali produktif seperti tahun sebelumnya.
Nah pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana dengan nasib populasi walet di kota Pangkalanbun dan kota lain yang selama ini selalu dilakukan panen sarang secara rampasan sehingga menyebabkan produksi sarang menyusut, apakah bisa dipulihkan kembali populasinya?
“ Ini pertanyaan yang mudah dijawab, namun sulit untuk dilaksanakan,” kata Bang Said agen duniawalet Pangkalanbun yang seharian penuh setia mendampingi saya.
Salam optimis.