Awal Nopember ini saya ke Ujung Batu- Rokan Hulu. Tiket pesawat Lion yang harusnya berangkat pukul 09.25 mundur menjadi jam 11.00. (Kalau tidak delay bukan Lion, kata teman sebelah saya).
Pesawat mulai menderu di langit. Mendekati pukul 13.00. pramugari meminta saya membuka jendela, menegakkan sandaran kursi, melipat meja, dan memasang kembali sabuk pengaman. Kota Pekanbaru saya lihat dari ketinggian 1000 meter. Perkembangannya luar biasa, menyalip Medan. Putaran uang di Pekanbaru sangat besar menjadi juara di Sumatera. Meski 3 Gubernurnya berturut turut ditangkap KPK.
Tak lama kemudian, roda pesawat berderit menyentuh landasan Bandara Sultan Syarif Kasim yang lumayan cakep. Mas Agung pemilik gedung walet itu sudah menyambut dipintu kedatangan. Orangnya masih muda, sopan dan kelihatannya cerdas. Setelah makan siang segera Mas Agung menginjak gas mobilnya. Hujan rintik rintik mengiringi perjalanan kami berdua. Matahari tertutup awan putih. Sudah seminggu ini Ujung Batu diguyur hujan. Sungai penuh air, parit disekitar jalan dan juga di perkebunan kelapa sawit, nampak juga tergenang air. Tumbuhan nampak menghijau. Kepulan asap dari hutan yang terbakar, otomatis padam karena guyuran hujan. Tak ada lagi titik api. Bekas kebakaran justru membuat tanah menjadi subur.
Jam tangan saya menunjukan angka 5 sore. Kami memasuki Ujung Batu. Gedung gedung walet menjulang dengan suara rekaman burung yang berlomba loma berebut koloni walet. Hujan masih terus mengguyur. Rencana mau langsung ke lokasi untuk melihat arah koloni walet pulang sore hari. Namun karena situasi yang kurang memungkinkan, saya menuju Netra Hotel ( satu satunya hotel di Ujung Batu, yang lain penginapan).
Besok pagi saya ke lokasi. Gedungnya berada di areal kebun sawit milik Pak Masri, mitra kerjasama Agung. Ukuran gedungnya sekitar 4 m X 8 m tinggi 3 lantai. Sudah 8 tahun gedung ini dibangun. Namun harapan tak sesuai kenyataan. Hanya beberapa puluh sarang walet saja yang ada di dalamnya. Pak Masri dan Agung memang hampir putus asa. Selama sekian tahun menunggu hasil sarang walet, namun tak kunjung berhasil. Segala upaya sudah dilakukan. Dan beberapa orang yang mengaku konsultan juga sudah dipanggil untuk membuat gedung tersebut menjadi produktif. Namun nampaknya, nasib baik belum berpihak. Konsultan lokal yang dipercaya juga mulai angkat tangan.
Saya mencatat beberapa kesalahan dalam gedung tersebut.
Pertama, gedung pakai rumah monyet/ kotak sabun. Kedua, ukuran LMB ( lubang masuk burung) menurut saya terlalu kecil, 30 cm X 40 cm membuat walet sulit masuk, apalagi dibagian atas LMB dibikin semacam teras/ topi, dengan tujuan agar cahaya jangan banyak masuk ke dalam gedung. Ini menambah tingkat kesulitan bagi walet masuk ke LMB. Ketiga, ukuran void, dari rumah monyet ke lantai 3 juga sempit, sekitar 1 m X 1 m. Juga ukuran void dari lantai 3 ke lantai 2. Keempat, ada jarak kosong sekitar 10 cm, antara papan sirip dan plafon. Jadi, siripnya menggantung tidak menempel di plafon. Ini membuat walet gak mau bersarang di papan sirip seperti ini. Kelima, penempatan twiter void yang kebanyakan jumlahnya.
Saya selalu sampaikan dibeberapa kesempatan bertemu dengan peternak walet, bahwa tujuan walet menghuni sebuah gedung hanya 1 yaitu mencari tempat yang aman dan nyaman untuk berkembang biak. Maka dari itu, aturlah sejak dari pembuatan lubang masuk, lubang terjun, penempatan twiter, pengaturan tata ruang dll, yang membuat koloni walet gampang untuk masuk gedung. Kondisi gedung yang lembab, aman dari predator, dan pengaturan cahaya yang tepat, membuat walet segera menentukan pilihan, bahwa gedung itu layak dipilih sebagai tempat untuk berkembang biak.
Pada kasus gedung ini, saya tidak lagi memfungsikan rumah monyet. Saya membuat lubang masuk (LMB) baru di lantai 3. Void antara lantai 3 ke lantai 2 juga segera dilebarkan. Untung saja lantainya terbuat dari papan, sehingga gampang bongkarnya. Jarak yang lebar antara papan sirip dengan plafon juga segera tertangani dengan sangat praktis dan cepat waktu. Pemasangan twiter panggil, dan twiter void saya set ulang. Faktor cahaya saya kendalikan dengan cara yang mudah dan beaya murah. Hari berikutnya, uji coba suara sudah bisa dilakukan.
Meskipun dengan LMB baru koloni walet begitu cepatnya untuk beradaptasi. Kurang dari 30 menit, koloni walet sudah mencoba masuk keluar melalui LMB baru. Suara walet yang saya bawa, memang Alhamdulillah …sangat mantab, sehingga mengundang koloni walet dari gedung lain untuk ikut bergabung dalam jumlah yang membuat hati Pak Masri dan Agung berdegup kencang. Penantian 8 tahun dimana hati mereka berdua sudah hampir putus asa, kini muncul harapan baru.
Selesai kerja di Ujung batu, saya segera meluncur ke Tanah Merah – Rokan Hilir. Lebih dari 6 jam saya menempuh perjalanan tersebut. Tanah Merah tidak jauh dari Bagan Siapi Api, sekitar 40 km saja. Karena di Tanah Merah gak ada hotel, maka saya memilih tidur di hotel Mulia di Bagan Siapi Api, kota walet yang sudah lama terkenal di Sumatera.
Pagi itu Pak Budi, pemilik gedung walet, menjemput saya. Perjalanan ke Tanah Merah sekitar 30 menit, jalanan mulus hanya sedikit yang keriting. Sampai di lokasi saya langsung masuk gedung. Usia gedung sekitar 5 tahun, tiap bulan bisa panen 1 kg sarang walet. Budi ingin panen lebih banyak lagi, sebab menurutnya, potensi walet di Tanah Merah sangatlah besar, tapi kenapa gedung sudah 5 tahun produksinya lambat. Apa yang salah ?
Kasus kesalahan di gedung walet Budi hampir sama dengan gedung di Ujung Batu. Segera saya menuliskan beberapa catatan mengenai penyakit gedung tersebut. Dan saya minta Budi segera mengerjakan agar gedung itu menjadi sehat kembali. Yaitu rumah monyet tak perlu dipakai lagi. LMB harus pindah di posisi yang benar dan ukuran yang benar pula. Pengaturan tata ruang juga langsung dikerjakan pada hari itu pula. Termasuk penempatan twiter tarik, twiter void, secara benar.
Dua hari saya kerja di Tanah Merah, dan siangnya saya meluncur ke Pekanbaru. Hujan deras terus mengguyur jalur Pekanbaru- Dumai. Lalu lintas tersendat merayap karena banyak truk truk besar pengangkut kayu log. Jam 8 malam saya belum juga nyampe kota. Dan hujan deras itu tak juga berhenti…kaca mobil terasa gelap, jarak pandang hanya beberapa meter saja…mobil yang kami tumpangi hanya bisa berjalan 20 km/ jam. HP saya berbunyi… Budi mengabarkan bahwa koloni walet masuk gedung melewati LMB baru sangat banyak sekali ….seperti tawon… luar biasa pak Arief….Terimakasih banyak atas bantuannya… Mendengar info Budi itu, sudah selayaknya saya memuji Allah SWT … Dia lah yang memberi ilmu…
Satu hal penting lain yang saya pesan kepada Mas Budi maupun Mas Agung agar segera memperbaiki mesin audio walet, juga harus menyiapkan accu/ aki. Ini karena seringnya mati lampu di daerah itu. Jika mesin audio tanpa bantuan energi dari accu, saat listrik mati… tak ada suara rekaman walet yang memanggil. Gedung walet jadi bisu … koloni walet baru tak mau datang menyapa….Sekedar info, di Bagan Si Api Api sering mati lampu .. apalagi di Ujung Batu, mati lampu sehari bisa sampai 10 kali…saya jadi teringat tulisan bersambung mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan di Jawa Pos, yang menjanjikan listrik menyala tanpa mati lampu di Sumatera. Ternyata …..?