Tgl 24 Agustus kemarin saya berkunjung silaturahmi ke Gorontalo. Ini kedatangan saya yang kedua. Tahun 2016 lalu saya menjadi narasumber dalam seminar budidaya walet. Pada kedatangan kali ini, bukan dalam rangka seminar, melainkan kunjungan kerja dan untuk memanfaatkan waktu diadakan diskusi dengan member lama dan member baru.
Ke Gorontalo hanya ditempuh perjalanan udara dari Makassar sekitar 45 menit. Sebelum mendarat, dari ketinggian saya melihat rawa-rawa dan genangan air yang cukup luas diantara perbukitan kecil khas geografis pulau Sulawesi.
Di Gorontalo terdapat dua musim. Yaitu pertama musim panas dan kedua musim panas sekali. Begitulah gurau yang biasa saya dengar dari teman. Tapi biarpun suhu panas, populasi burung walet di daerah ini sangat banyak. Di kubah Masjid Baiturahman Limboto banyak walet bersarang. Tiap bulan takmir masjid bisa panen sekitar 5 kg. Beberapa investor antara lain dari Surabaya tertarik memilih Gorontalo untuk budidaya walet. Rencananya investor ini akan membangun 20 gedung yang tersebar di wilayah kota penghasil jagung ini.
Turun dari pesawat saya sudah dijemput Vical dan Faisal, member sekaligus alumni seminar di Palu. Acara siang itu langsung ke Kwandang Gorontalo utara. Selain melihat lokasi yang sangat prospek, saya sempat masuk ke dalam gedung Vical yang populasi waletnya sangat menggembirakan. Ukuran gedung 6 x 8 m dua lantai. Sekarang gedung tersebut ditambah lebar ke samping, ukuran menjadi 12 x 8 mtr. Dalam waktu kurang dari 2 tahun, jumlah sarang sekitar 400 keping, dan anak muda ini sudah panen beberapa kali menikmati hasil keringat dan kesungguhannya dalam budidaya burung berliur mahal ini.
Populasi walet di Gorontalo boleh dibilang berkembang semakin banyak. Member lama saya yang membangun gedung walet paket hemat sejak th 2007 yaitu Bp H. Anwar sekarang ini panen sudah sangat menggembirakan. Beberapa alumni seminar di Gorontalo 2 tahun lalu, bang Yanto Turede juga sudah menikmati hasil panen sarang walet dari gedung sederhana yang dibangun di atas garasi. Alumnus lainya, Bang Aswan yang gedung waletnya tidak jauh dari objek wisata Pulau Cinta, juga lumayan berkembang. Lokasi Gorontalo secara umum memang masih prospektif untuk budidaya walet. Imam Anjulani dalam waktu kurang dari 1 tahun, gedung paket hemat yang dia bangun sekarang ini sudah terisi 100 sarang dengan jumlah populasi walet di dalamnya sekitar 300 ekor.
Malam harinya sambil minum kopi di kafe hotel Magna tempat saya menginap, kami ngobrol dengan beberapa teman antara lain Imam. Anak muda alumnus seminar Palu. Usianya baru 23 tahun. Semangat suksesnya terpancar dari sorot matanya. Gedungnya ukuran kecil hanya 6 x 8 m tinggi 2 lantai di Pohuwato. Pada 5 bulan pertama sering mendapat “ujian”. Predator telah mengganggu perkembangan populasi walet yang sudah menginap dalam gedungnya. Yang lucu, 2 kali gedung walet Imam kemasukan biawak. Biawak memangsa induk dan anak walet di sarang. Dalam 2 bulan kembali “ujian” datang. Gedung anak muda ini kemasukan ular. Populasi walet yang semula sudah mulai mapan dalam gedung tersebut, kembali kacau. Kenapa biawak dan ular bisa masuk ke gedung Imam? Sebabnya, dinding gedung belum di plester masih tampak bata merah. Selain itu pipa ventilasi dari paralon 4 inc tidak di tutup ram kawat. Kemungkinan predator mudah merayap naik dan masuk dari lubang angin tersebut.
Gedung imam sekarang sudah diplester baik dinding luar juga dalam. Ventilasi ditutup ram kawat. Dalam 4 bulan ini perkembangan populasinya sangat menggembirakan. Pada seminar di Palu Juni 2018 lalu, saya kasih teknis sekat yang efektif. Sekarang ini jumlah sarang di gedung minimalis itu sekitar 100 keping.
Di atas buku coretan konsulasi saya tulis beberapa kata, ” Dalam waktu sekitar 4 tahun lagi Imam akan sukses dari panen sarang walet. ” Tak lupa saya bubuhkan tanda tangan saya. Ini bukan ramalan melainkan prediksi berdasar pengalaman selama saya berkecimpung dalam budidaya walet sejak 18 tahun lalu.
Tak lama kemudian saya kedatangan tamu seorang pengusaha sukses Gorontalo. Namanya bang Dedi. Usia sekitar 40 th. Sedang dalam proses pembangunan gedung walet ukuran 7 m x 11 m tinggi 4 lantai. Lokasinya sekitar 1 jam dari kota Gorontalo. Bangunan fisiknya tergolong super dengan tebal dinding 45 cm. Saya sampaikan ke bang Dedi, tata ruang jangan sampai salah. Void atau lubang terjun sebaiknya plong ke bawah agar akses walet masuk turun dan naik keluar akan mudah. Bang Dedi menyimak serius apa yang saya sampaikan.
” Gedung teman saya voidnya model anak tangga. Bagaimana menurut pak Arief?” tanya bang Dedi yang malam itu datang beserta 4 temanya.
Saya jelaskan bahwa hubungan antara LMB, Void dan nesting room ibarat hubungan antara mulut, tenggorokan dan perut. Ke tiga nya harus terhubung dengan mudah.
Pak H. Idris eksportir ikan tuna ke Jepang dan Singapura ikut menyimak penjelasan saya. Bangunan beliau baru 70% belum selesai ukuran 11 m x 13 m tinggi 4 lantai.
Pada umumnya desain void zigzag karena menghindari masuknya cahaya luar ke dalam gedung walet. Dengan alasan, walet adalah jenis burung yang habitatnya gelap. Menurut pendapat tersebut void zigzag sangat tepat untuk desain gedung walet agar faktor kegelapan terpenuhi dengan baik
Dalam beberapa ulasan baik di artikel maupun karya buku saya, gedung walet jangan gelap, apalagi gelap total. Yang disukai oleh burung walet adalah cahaya yang redup atau remang. Posisi void zigzag atau model anak tangga agar menekan cahaya sehingga kondisi gedung menjadi gelap, justru tidak efektif. Dalam faktanya, desain semacam itu populasi walet di dalamnya tidak akan bisa berkembang menjadi produktif.
Salam sukses.