Seorang teman di wilayah Jambi, ada yang bernama Dahlan. Gedung waletnya ber-ukuran 4 m X 12 m dengan tinggi 3 lantai. Bulan Januari tahun lalu mulai dioperasionalkan. Namun hingga bulan Juni tahun ini, tak satupun walet yang menginap. Walet hanya keluar masuk, baik pagi maupun sore hari.
“Pak arief, kenapa ya walet hanya masuk keluar terus, tanpa mau menginap? Apakah ada yang salah di gedung saya? “. SMS ini dikirim Dahlan jam 8 malam. Saya balas, “ Silahkan besok pagi, telepon saja pak. Untuk konsultasi perwaletan saya sediakan waktu dari jam 08.00 hingga jam 16.00“.
Di luar jam kerja, sering sms maupun telepon sengaja tidak saya balas. HP saya silent. Saya perlu meluangkan waktu untuk aktifitas sosial dan keagamaan, terutama juga untuk keluarga.
Esok harinya, Pak Dahlan menceritakan tentang keberadaan gedungnya, tata ruangnya, serta iklim mikro dalam gedung. Dahlan juga menjelaskan pengaturan tata letak twiter dan volume suara. Yang menarik, Dahlan merupakan tipe orang yang suka eksperimen. Kepala, tangan dan mulutnya tak mau diam. Tiap 3 minggu atau 1 bulan beliau sering melakukan perubahan di gedungnya. Entah perubahan di lubang masuk, entah perubahan di tata ruang dan sekatnya, entah perubahan di pengaturan suaranya, dan eksperimen lainnya. Ada saja yang dirubah. Tujuannya benar : agar walet cepat banyak masuk.
Berbagai sumber rujukan dia telepon. Banyak ilmu tentang walet dari berbagai sumber yang ia serap. Bertumpuk buku walet ada di mejanya. Namun, kadang ia pening kepala. Kadang satu info dengan info lain tidak singkron.
Gedung walet Dahlan, semula tanpa rumah monyet. Namun, atas saran teman, lalu dibikin tambahan kotak ukuran 4 m x 4 m dengan tinggi 4 meter. Tampak dari depan, bangunan menjulang tinggi. Walet banyak menghampiri ke gedung Dahlan. Jika walet ramai, Dahlan tersenyum. Jika walet sepi Dahlan bersedih. Hati Dahlan diombang-ambingkan oleh kondisi cuaca yang mempengaruhi sepi ramainya walet beradaptasi pada gedung baru.
Tiap sore mulai jam 16.00 hingga azan magrib, Dahlan tak pernah absen duduk dibelakang gedung waletnya. Satu teko kopi luwak dan sebungkus rokok kretek bungkus hijau, selalu menemani sorenya. Perutnya mulai agak membuncit, karena mulai malas olah raga sore. Sore hari lebih asyik melihat gambaran masa depan dari sayap-sayap walet yang beterbangan keluar masuk gedungnya.
Saran temannya ia acungi jempol, yaitu membuka lubang masuk di rumah monyetnya ke 2 penjuru mata angin; selatan dan utara. Walet ramai saban hari. Namun ditunggu 1 minggu hingga 2 minggu, walet tak ada yang turun menginap di nesting room. Kenapa walet tak mau menginap? Dahlan mengernyitkan dahi. Hari berikutnya koloni walet mulai sepi berkunjung ke gedungnya. Hati Dahlan berkecamuk.
Jempol yang tadinya berdiri untuk temannya, kini berganti jempol menjungkir ke bawah. Dahlan mulai angkat telepon. Tanya ke teman-temannya. Tanya ini tanya itu, kenapa begini, kenapa begitu.
Dahlan mulai berpikir; pasti ada yang salah. Esok harinya Dahlan merubah tata ruangannya. Semula posisi sekatnya di sebelah dinding kiri, digeser ke dinding kanan. Sekat gantungnya semula hanya 50 cm, diturunkan menjadi 1 meter ke bawah.
Semula sekatnya pakai kain, kini diganti pakai kalsibot. Alasan Dahlan mengganti sekat kain, karena ia mendengar info dari temannya, bahwa jika sekat pakai kain walet tidak bisa memantulkan suara. Di kepala Dahlan itu masuk logika meskipun sebenarnya alasan tersebut tidaklah kuat. Padahal saran temannya itu hanya analisa semata tanpa dasar bukti eksperimen. Tapi Dahlan menurut saja.
Sebenarnya sekat kain tak masalah. Bukankah banyak gedung walet dibangun dengan dinding dari papan, yang dalamnya dilapis gabus, yang tidak bisa memantulkan suara echo location? Ternyata walet no problem. Ini disebabkan, suara elektronik dan tata twiter di dalam gedung lebih dari cukup sebagai pemandu walet untuk masuk ke dalam nesting room, dan memilih tempat bersarang di papan sirip yang ia sukai.
Maka, biarpun dinding papan, atau dinding semen yang dilapis gabus, dan sekat dari kain, walet tak masalah dalam eksplorasi ruangan. Sebab panduan suara sudah tersedia di dalamnya berupa; twiter transit, twiter void, twiter tarik, dlsb.
Karena tipe Dahlan orang yang suka eksperimen, sumber info dari siapapun, baik yang masuk logika atau tidak logika, ia telan saja. Telepon seluler selalu ada di genggaman tangannya.
Tapi tak semua teman tahu tentang tata ruang yang benar. Kalau toh tahu, tak mudah untuk membagi ilmu. Temannya tak gampang untuk open ilmu, sebab hati kecil temannya juga merasa kawatir, jika ia bagi ilmu walet di gedungnya akan bisa tertarik masuk ke gedung Dahlan.
Melihat perkembangan gedungnya, Dahlan sedih. Ia bingung. Karena bingung itu, justru membuat ia selalu lakukan perubahan. Celakanya perubahan yang ia lakukan tanpa pedoman yang benar.
Di sisi lain, kemungkinan tata ruang yang sudah diatur bisa jadi sudah benar. Namun karena tidak ada dasar pedoman yang pasti, maka Dahlan masih ragu-ragu. Apa tata ruang sudah benar, apa masih ada yang salah?
Sebenarnya, Dahlan perlu bersabar. Walet perlu adaptasi untuk menempati gedung baru. Bagi pemilik gedung perlu kesabaran seiring berjalannya waktu. Dalam prosesnya, walet sudah mulai oke saat adaptasi. Tapi Dahlan tak sabar menunggu dan segera melakukan perubahan, sehingga walet memulai lagi dari nol untuk adaptasi kembali.
Untuk budidaya walet yang sukses, selain perlu kesabaran, juga perlu pedoman yang benar. Dahlan kurang sabar dan tak punya pedoman. Informasi yang simpang siur membuatnya lebih bingung. Karena bingung, ia telepon sumber dari sana-sini, lalu ia lakukan perubahan lagi.
Melihat Dahlan bingung waletpun ikut bingung. Walet harus mengulang untuk terus adaptasi. Rupanya Dahlan mau sukses namun tergesa-gesa. Padahal walet tak mau di paksa.
Pagi tadi Dahlan telepon:
“Pak Arief saya sudah lelah, dan angkat tangan. Apakah bapak bisa bantu kami?”
“ Baik saya akan atur jadwal ke Jambi, tapi tolong siapkan tali”
“Untuk apa tali?”
“ Setelah saya atur gedung, tata ruang dsb dengan benar, jangan anda rubah lagi..”
“ Terus, untuk apa saya harus siapkan tali?”
“Untuk mengikat tangan bapak, agar tak bisa gerak, agar tak rubah-rubah lagi”..
“…siap pak..”