Saya memanggilnya Abah. Panggilan kepada orang tua yang dihormati. Kedua putra beliau, bang Iwan dan bang Aqli juga memanggil Abah. Saya sering menemani makan siang ke warung “Abang Kumis” dengan menu khas sop kikil yang terkenal di Palangkaraya itu.
Nama lengkap H. Abdul Gafur. Beberapa kali beliau naik haji. Sedangkan ibadah umroh tiap tahun rutin dijalankan pada bulan Ramadhan. Ini umroh khusus selama 1 bulan lebih. Berangkat sebelum puasa, dan pulang setelah lebaran.
Menurut beliau, menunaikan ibadah puasa di tanah suci, adalah menikmati hari-hari dengan frekwensi ibadah yang padat. Antara Mekkah-Madinah, antara Masjidil Haram-Masjid Nabawi, Hijir Ismail, Multazam, Sofa-Marwah, Roudhoh dan tempat ijabah lainya. Menunaikan ibadah wajib dan sunnah. Tadarus Alqur’an hingga qiyamul lail. Bila adzan magrib tiba, takjilnya buah kurma dan segelas air zam zam. Saya membayangkan sungguh nikmat menunaikan saum Ramadhan di tanah suci. Setelah lebaran Iedul Fitri beliau kembali ke tanah air. Beliau tinggal di Jl. Cilik Riwut Palangkaraya.
Abah termasuk salah satu petani walet yang sukses di Palangkaraya. Tiap panen bisa diperoleh 200 kg lebih. Rezeki memang tidak pernah salah alamat. Mengenang cerita awal, burung walet datang sendiri masuk ke dalam gudang di lantai atas melalui lubang boven jendela. Burung kecil itu bersarang di balok cor dinding. Belum ada papan sirip. Sarangnya sebagian besar mangkok warnanya putih bersih.
Padahal sebelumnya boven sempat ditutup. Walet tak bisa masuk beberapa minggu karena dianggap burung kecil itu hanya bikin kotor gudang. Namun setelah mengetahui nilai ekonomi sarang walet, boven dibuka lagi dan burung walet kembali masuk lagi. Agar tempat memenuhi syarat yang benar, serta populasi cepat bertambah berkembang, saya diminta membantu menangani gudang yang terletak di Jl. Seram.
Waktu itu awal tahun 2004. Beliau ke Kendal ditemani sohib karibnya, H. Jamhari pemilik Toko Mahkota. Saya sangat mengapresiasi kedatangan beliau. Maka segera saya atur jadwal kunjungan ke Palangkaraya.
Alhamdulillah setelah saya kondisikan, perkembangan populasi burung walet meningkat signifikan. Beliau mengaku puas. Saya mendapat hadiah tiket umroh bersama istri ke tanah suci akhir 2004.
Saya masih ingat, ada satu perkataan Abah yang sulit dilupakan. Yaitu menyebut burung walet ibarat anak sholeh.
Kata beliau, ” burung kecil itu tiap hari kerja keluar rumah dan sore hari pulang “membawa uang” diberikan kepada kita. Ia mencari makan sendiri, tak pernah minta. Tidak merepotkan. Bahkan tidak pernah membuat susah,” ujarnya dengan dialek Banjar yang medok.
Saya tercenung agak lama. Mencoba menterjemahkan perkataan beliau.
Dari rezeki halal “anak sholeh” itu bisa tercukupi keperluan duniawi dan kebutuhan ukhrowi. Sejumlah karyawan dan kerabat beliau juga diberangkatkan umroh.
Sekarang beliau sudah tiada. Sudah almarhum. Sudah menghadap Sang Khalik. Namun amal jariyahnya terus mengalir. Karena puluhan ribu “anak sholeh” terus membuat sarang. Dan Bang Iwan rutin menyisihkan sebagian hasil penjualan sarang walet untuk menyantuni fakir miskin, menyumbang tempat ibadah, serta sodaqoh lain sesuai wasiat. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan pahala kepada beliau.
Allahummagfirlahuu warkhamhuu.