Pagi kemarin, telepon kantor saya berdering. Dari ujung telepon, laki laki muda menanyakan cara beli suara walet. Dia mengaku dari Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Tanya tentang beberapa hal mengenai budidaya walet secara benar, mengingat gedung waletnya hingga kini baru terdapat puluhan sarang saja, padahal sudah dibangun sejak 3 tahun yang lalu.
Dalam percakapan via telepon itu saya juga sempat menceritakan bahwa saya pernah kerja memberi konsultasi walet sampai ke ujung Kal-Bar, yaitu di kecamatan Sekura, sekitar th 2008. Menuju Sekura, dari Sambas masih menempuh perjalanan darat sekitar 2 jam, dekat dengan perbatasan Malaysia. Pada saat itu, masih harus nyebrang pakai kapal feri melintasi sungai yang lebar. Pulang dari Sekura, saya membantu beberapa peternak walet di Singkawang. Saat saya tulis artikel ini, saya jadi kangen Ko A Bun, yang gedung waletnya ada di atas ruko Magenta Seluler-Singkawang.
Kembali ke teman dari Sambas tadi, dia menanyakan, apakah suara rekaman walet dari Jawa pasti cocok digunakan di Sambas? Kata orang, suara walet di Sumatera hanya cocok dipakai di Sumatera saja. Suara walet yang dipakai di Kalimantan juga harus suara rekaman walet di Kalimantan. Suara walet yang akan dipakai di gedung yang berlokasi di Sulawesi juga harus rekaman suara walet di Sulawesi. Mohon penjelasan pak, banyak orang bilang begitu, saya jadi bingung bagaimana sebenarnya yang benar dan rasional.
Pertanyaan ini memang sering saya terima. Banyak orang yang berasumsi bahwa rekaman suara walet hanya cocok untuk daerah setempat. Dasar dari pemikiran mereka, mengira burung walet itu berbahasa layaknya seperti manusia. Jadi mereka pikir, bahasa walet di Jawa tidak sama dengan bahasa walet di Kalimantan, bahasa walet di Sumatera hanya bisa dipahami oleh walet di Sumatera saja. Suara walet Malaysia tidak cocok dipakai di Thailand, suara walet Vietnam tidak cocok dipakai di Indonesia, karena bahasa waletnya tidak sama.
Bagi orang awam, sekilas pemahaman ini masuk akal. Tapi jika dijelaskan secara lebih detail, pemahaman tersebut jadi tak masuk akal. Asumsi bahwa walet berbahasa jelas salah. Benarkah walet berbahasa seperti layaknya manusia ?
Baiklah saya jelaskan secara sederhana. Bahwa suara walet di Jawa sebenarnya pasti cocok untuk dipakai juga di Kalimantan. Suara walet Kalimantan pasti cocok dipakai di Sumatera. Suara walet Sulawesi pasti cocok dipakai di Sumbawa. Suara walet Indonesia cocok juga dipakai di Vietnam, Thailand, Malaysia dll.
Yang harus dipahamai bahwa untuk berkomunikasi dengan koloninya, walet mengeluarkan bunyi atau suara, dengan nada tertentu, dengan intonasi tertentu dengan ekspresi tertentu. Walet berkomunikasi bukan dengan bahasa. Ini juga terjadi pada hewan atau binatang lain. Mereka tidak memiliki kemampuan berbahasa seperti layaknya manusia.
Hewan atau binatang hanya diberi kemampuan berkomunikasi melalui suara dan ekspresi. Inilah yang membedakan antara binatang dan manusia. Manusia diberi kecerdasan yang lebih banyak untuk mengungkapkan ekspresinya melalui bahasa, sementara hewan atau binatang tidak memiliki kecerdasan untuk “menciptakan” bahasa. Mereka hanya dibekali oleh kemampuan bawaan untuk berkomunikasi melalui suara, melalui kode, melalui ekspresi.
Kehidupan hewan/ binatang hanya simpel dan monoton. Tuhan hanya memberi kemampuan dan naluri yang terbatas dalam mereka berkomunikasi. Sementara kehidupan manusia lebih kompleks, maka manusia diberi kecerdasan sehingga manusia bisa “menciptakan” bahasa sebagai alat berkomunikasi.
Kepada teman Sambas tadi, saya memberi contoh yang sederhana, saat manusia belum tumbuh kecerdasanya, yaitu saat masih bayi, suara bayi itu akan sama seluruh dunia. Suara tangis bayi di Jawa pasti sama dengan suara tangis bayi di Kalimantan. Suara tertawa bayi di pelosok Sulawesi sama dengan suara tertawa bayi di pelosok Malaysia.
Meskipun saat itu bayi belum bisa berbicara, namun bagi si ibu dia sudah paham apa yang dimaksudkan oleh si bayi dengan suara tangis itu, dan bisa membedakan saat bayi menangis karena sakit, atau menangis karena lapar, atau mau kencing. Saat manusia masih bayi, kehidupannya masih simpel dan belum kompleks. Bayi belum memiliki kecerdasan, cara berkomunikasinya dengan suara, nada dan intonasi.
Suatu hari, saat saya terbang dari Bandara Ho Chi min, ke Hanoy, dalam pesawat domestik itu saya mendengar tangis bayi kecil dipangkuan penumpang warga Vietnam yang duduk di seat depan saya. Dalam kondisi agak ngantuk, mendengar suara tangis itu saya kira saya sedang terbang di langit Indonesia, karena suara tangisnya sama dengan suara tangis bayi di Indonesia. Sesaat kemudian, saya baru sadar bahwa saya sedang terbang antar kota di Vietnam. Tidak ada beda suara tangis bayi Vietnam sama persis dengan tangis bayi tetangga sebelah rumah saya di Jawa.
Kesimpulannya, suara tangis atau tertawa bayi dimanapun sama bahkan sama di seluruh dunia. Suara waletpun juga begitu, suaranya sama di seluruh Asia Tenggara. Karena itu, suara walet yang di produksi BAN, sudah lebih 10 tahun juga dipakai untuk gedung walet di Thailand, Malaysia, juga di Vietnam. Salam cerdas.