Kota walet Dompu siang itu saya tinggalkan. Supardin menjemput saya di hotel kecil Tursina yang terletak di belakang kantor Bupati Dompu.
Jumat siang itu tanggal 25 oktober 2019 lalu, kami berangkat menuju Calabai.
Calabai adalah salah satu daerah tepi pantai yang masuk kecamatan Pekat. Jarak tempuh melalui darat 2.5 jam melewati jalan beraspal mulus.
Di kecamatan ini populasi burung walet mulai berkembang. Pada Mei 2016 lalu saya pernah memberikan seminar walet di daerah ini. Saat itu tercatat kurang lebih 40 peserta mengikuti dengan serius materi yang saya sampaikan.
Alhamdulillah sekarang mereka sudah bisa menikmati hasil yang menggembirakan. Bang Nurmahyudi bisa panen 10 kilo. Pak Juprin, kepala Sekolah sudah bisa panen sarang 15 kg lebih. Pak Haris peserta dari Dompu, dari hasil panen sarang gedung pertama, bisa kembang hingga 3 gedung.
Dalam perjalanan antara Dompu – Calabai, melewati beberapa kota kecil antara lain, Manggalewa, Kempo, Soro, Sori Tatanga, Doropeti.
Perjalanan siang itu cukup terik. Mobil terus melaju naik turun bukit. Sepanjang perjalanan dihibur oleh indahnya warna biru lautan di sebelah kiri. Sementara di sebelah kanan, tampak bukit gersang, tumbuhan meranggas serta padang savana yang kering tak nampak rerumputan hijau.
Informasi yang saya peroleh, aktifitas illegal loging lagi marak dalam 2 tahun terakhir ini. Gunung Tambora tak sehijau dulu. Tangan tangan tak bertanggung jawab telah merusak hutan untuk kepentingan pribadi.
Dijalanan laju mobil terganggu oleh ratusan sapi yang berkeliaran di tepi jalan. Hewan ternak itu sengaja dibiarkan liar oleh pemiliknya, makan dan tidur sembarang tempat. Sementara itu saat menjelang magrib, sekawanan kuda liar yang merumput di bukit Tambora turun ke bibir pantai untuk minum di sumber air. Jalur kuda ini tepat di Geo Park Tambora. Kuda yang melahirkan anak, susunya diperas dan dijual dengan merk susu kuda liar. Pingin merasakan tapi tak kesampaian. Lain waktu saja pikir saya.
Pukul 5 sore WIT kami sampai di tujuan. Matahari perlahan turun sembunyi dibalik bukit. Cahayanya berpendar merah memantul di permukaan air laut Calabai menyuguhkan penorama langit sore yang eksotis.
Kami disambut hangat oleh ibu Maria dan Derik sang suami yang warga negara Belanda namun sudah fasih bahasa Indonesia. Derik sudah 23 tahun hidup di bumi pertiwi. Ibu Maria asli Calabai. Mereka punya usaha di Denpasar yaitu ekportir peralatan golf.
Esok pagi saya masuk gedung walet mereka yang kurang produktif. Beberapa sarang walet menempel di papan sirip. Kenapa tidak produktif? Problemnya antara lain pada akses masuk serta tata ruang yang kurang tepat. Sugi adik Ibu Maria, mencatat apa yang segera dibenahi. Pengerjaan harus dilakukan secara bertahap. Itu agar koloni burung walet yang penghuni gedung tidak kaget. Prinsipnya merubah tanpa berubah. Oleh karena itu harus dilakukan step by step. Tidak bisa langsung.
Matahari semakin naik.
Kami istirahat sejenak berteduh di bawah pohon beringin yang rimbun tidak jauh dari gedung walet. Puluhan burung walet menyambar serangga pada buah pohon beringin.
Sugi mengajak ke Kawinda Toi. Ini adalah desa di tepi pantai. Jaraknya sekitar 35 km dari Calabai. Namun waktu tempuh perjalanan bermobil hampir 2 jam disebabkan jalan yang jelek. Desa ini masuk Kecamatan Tambora Kabupaten Bima.
Disini populasi burung walet sangat banyak namun masih sedikit gedung walet berdiri. Baru puluhan saja. Gedungnya sederhana. Berdinding batako ukuran 4 m x 6 m tinggi 2 lantai.
Sore hari ribuan walet beterbangan di semak-semak dan di jalanan terbang cukup rendah 1 meter dari tanah. Geregetan saya melihatnya.
Banyak burung walet namun sedikit gedung. Bahkan anak2 SD memukul pakai sapu jika walet beterbangan di sekolahan. Kasian. Di sini burung walet cari rumah. Sugi berharap saya investasi di daerah ini.