Empat tahun lalu, tepatnya tanggal 23 Oktober 2015 saya menginap di hotel Gita, Puruk Cahu-Murung Raya – Kalimantan Tengah.
Ini merupakan daerah yang kaya dengan aneka bahan mineral. Secara geografis berbatasan dengan wilayah Kutai Barat Kalimantan Timur, dan Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Suhu berkisar 22” sd 30” celcius dengan kelembapan 85 %. Curah hujan yang tinggi mencapai 3000 mm pertahun.
Posisi kota berada di dataran tinggi. Untuk menuju kota ini, bisa ditempuh dari Palangkaraya membutuhkan waktu sekitar 10 jam, melalui Buntok dan Muara Teweh. Populasi burung walet berkembang dengan baik.
Menuju Puruk Cahu harus melalui jalanan berkelok-kelok dengan aspal mulus, melewati hutan karet dan perkebunan sawit. Pada tempat tertentu terdapat jalan menanjak cukup tinggi. Kadang ada mobil truk muatan berat mengalami musibah terperosok ke tepi jalan, atau mogok karena mesin tidak kuat naik.
Pagi itu udara dingin. Kabut asap kebakaran hutan menebarkan bau sangit. Semilir angin terasa dingin di kulit tubuh. Saya memandang sekeliling. Kabut asap terbawa angin merayap di antara pepohonan dan atap rumah penduduk.
Hari itu dan hari berikutnya, Puruk Cahu di kepung asap kebakaran hutan dan lahan. Udara sudah masuk level bahaya bagi kesehatan. Anak-anak sekolah diliburkan. Asapnya hanyut terbawa angin hingga negeri tetangga.
Saya menginap di hotel Gita, karena ownernya adalah member Duniawalet. Gedung waletnya selain dibangun di atas hotel, juga dibangun di seberang jembatan merdeka. Jika kita memasuki kota Puruk Cahu, sebelah kiri jembatan tampak bangunan gedung walet 4 lantai, bersebelahan dengan dermaga kapal tongkang milik beliau.
Pada 2015, Kalimantan Tengah mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan yang sangat parah. Kondisi itu berlangsung lebih dari 2 bulan. Kabut asap telah menimbulkan petaka.
Latu atau bara api terbawa angin, menambah titik kebakaran di lokasi yang lain. Kemarau panjang tahun itu membuat ratusan hektar lahan kering dan perkebunan hangus terbakar. Perkebunan kelapa sawit milik salah seorang member di daerah Muara Teweh seluas 10 hektar, ludes dilalap jago merah kurang dari 2 jam.
Akibat kebakaran hutan maka tak ada lagi kehidupan serangga kecil di semak rerumputan. Induk burung walet kesulitan mencari makanan. Tidak sedikit burung walet yang menjadi korban karena musibah ini.
+: “ Apa dampak lain dari kebakaran hutan ini bagi habitat burung walet? “
-: “ Kualitas sarang ikut terpengaruh. Asap masuk ke dalam gedung walet melalui Lubang Masuk Burung (LMB) atau lewat ventilasi udara. Sarang yang semula berwarna putih akan terkontaminasi udara kotor. Warna sarang berubah menjadi keruh kekuningan, dan belang-belang.
+: “ Selain itu? ”
-: “ Karena jumlah serangga sedikit, maka burung walet kurang makan, akibatnya kesehatan produksi burung walet juga menurun. Ini mebuat kualitas telur yang dihasilkan juga jelek. “
+: “ Trus apakah sebaiknya dilakukan panen sarang, biarpun terdapat telur?”
-: “ Jika jumlah populasi dan sarang sudah banyak, menurut saya lebih baik dipanen. Sebab kualitas sarang jelek. Dengan dilakukan panen sarang maka, selesai kasus kabut asap, burung walet akan membuat sarang baru dengan kualitas yang lebih baik.
Namun apabila jumlah populasi dan sarang masih sedikit, misalnya baru terdapat 50 sarang, menurut saya, biarkan saja tak usah dipanen. Sebab dalam kondisi asap tebal, burung walet sebenarnya juga mengalami stress. Nah, apabila sarang dipanen, itu bisa resiko burung walet kabur ke gedung lain.
Kualitas telur burung walet pada musim asap ini jelas tidak sehat. Sebab selain minimnya faktor makanan, frekwensi pengeraman juga relatif kurang. Ini berakibat embrio telur tumbuh kurang maksimal. ”
Apakah di musim kemarau ditambah musim asap kebakaran hutan seperti saat sekarang ini, efektif memancing burung walet? Bagaimana dengan gedung baru yang siap on?
Baiklah kita bahas pada artikel berikutnya. (bersambung).