Pekerjaan saya sebagai konsultan walet mengharuskan keliling Nusantara. Jika jadwal kerja bertepatan dengan tahun baru China, saya ikut merayakan imlek di kota itu juga. Kadang saya ikut merayakan imlek di Manado, kadang di Singkawang, kadang di Sampit. Imlek tahun lalu saya merayakan bersama keluarga besar Asiung di Jambi.
Kali ini, saya ke Bagan siapi-api-Riau. Saya berangkat bersama Aseng dan Alien tgl 8 februari kemarin. Suasana menjelang Imlek di kota kecil ini mulai tampak ceria. Banyak rumah memasang lampion dan lampu warna warni. Malam hari, kota kecil ini terlihat indah menyala. Kata Budi, adik Aseng, jika perayaan cap go meh, akan lebih ramai lagi. Teman Budi sudah membuat replika macan dengan panjang 3 meter. Ini karena tahun macan.
Lebih ramai lagi, saat perayaan bakar tongkang. Tradisi ini hanya ada di Bagan siapi-api, yang dilaksanakan tiap bulan Mei. “Pada perayaan bakar tongkang, warga asal Bagan siapi-api yang sudah tersebar ke segenap penjuru tanah air, dan luar negeri akan pulang kampung” lanjut Budi menerangkan. Aseng, Alien, Budi, adalah kakak beradik warga asli Bagan siapi-api, namun sudah puluhan tahun berdomisili di Jakarta.
Perjalanan ke Bagan siapi-api saya tempuh 6 jam dari kota Pekanbaru. Jalanan berkelok-kelok dan berlubang, karena banyak truk bermuatan berat melalui jalur utama Pekanbaru-Dumai. Sore hari, sekitar jam 5, kami singgah sebentar di Batu Tujuh, 7 kilometer sebelum kota Bagan siapi-api. Saya menengok gedung walet Aseng yang sudah mulai produksi. Gedung ukuran 5 m X 20 m, 3 lantai itu, sudah operasional sejak 1 tahun lalu. Semula populasinya sudah cukup lumayan, tapi gara-gara kemasukan burung hantu, populasi waletnya jadi menurun. Maka, Aseng mempersempit pintu masuk. Burung hantu memang tak lagi datang, tapi dampak negatif lain, walet juga sulit masuk gedung.
Daerah Batu Tujuh memang banyak populasi burung hantu. Ini jadi dilemma bagi peternak walet. Kemudian saya memberi cara/ solusi, pintu masuk burung tetap di buka lebar, tapi burung hantu di jamin tak akan masuk gedung lagi. Yaitu dengan teknik buka-tutup pintu secara manual seperti dilakukan peternak walet di Bangka.
Apa yang menarik dari kota Bagan siapi-api? Ada beberapa catatan kecil saya, yaitu kota ini pada tiap perempatan jalan tak ada lampu merah. Lalu lintas jadi semrawut. Juga, banyak berdiri rumah ibadah untuk etnis tionghoa: klenteng. Jumlahnya mungkin ada seratus lebih. Terdapat klenteng tua, usia 300 tahun yang masih utuh. Kelenteng ini menjadi awal prosesi pembakaran tongkang. Pada imlek 2561 tahun ini, Bupati Rokan Hilir ikut menyulut kembang api.
Di Bagan siapi-api ini, hampir 90 % ruko/ kantor/ rumah, pada lantai atasnya difungsikan untuk budidaya walet. Jika dihitung, ada 1000 lebih gedung walet dengan tinggi rata-rata 3 hingga 4 lantai. Lubang masuknya rata-rata ukuran 60 cm X 80 cm, jumlah lubang masuk ada yang 2 buah, ada yang sampai 4 buah. Suara walet elektronik hinggar binggar, saling bersahutan. Betul-betul terjadi perang suara. Di malam hari, suara inap juga terdengar nyaring. Tak berlebihan jika Bagan siapi-api dijuluki kota walet. “Produksi sarang walet bisa mencapai 1 ton per-20 hari “, kata Aseng.
Namun, ada catatan penting dari pengamatan saya selama beberapa hari di Bagan siapi-api ini. Catatan ini saya sampaikan dalam diskusi kecil di halaman depan rumah Aseng. Yaitu, menurut pengamatan saya, 80 % walet di Bagan siapi-api berpostur besar. Hanya sedikit walet yang berukuran kecil. Apa maksudnya? Saya jelaskan, bahwa walet kecil adalah walet usia muda, dan walet besar adalah walet dewasa atau walet tua. Jika populasi walet sebagian besar walet usia tua, ini artinya regenerasi populasi walet di Bagan siapi-api tidak berjalan normal.
Harusnya terjadi keseimbangan jumlah populasi walet ukuran besar dan walet ukuran kecil. Ini sangat berkaitan dengan asaz kelestarian populasi walet di tempat ini. Jika proporsi tak seimbang, dalam hal ini jumlah walet tua lebih banyak daripada jumlah walet muda, maka kelak, jika walet tua mati, populasi waletnya akan berangsur-angsur menurun.
Apa yang saya sampaikan ini, merupakan warning, bahwa terjadi ketidak seimbangan perkembangan populasi walet. Apa pangkal penyebab dari ketidak-seimbangan itu. Jawabnya : cara panen yang tidak memberikan kesempatan bagi walet untuk berkembang biak, yakni cara panen rampasan. Mendengar penjelasan saya, Aseng mengangguk-angguk sambil menghisap “surya 16” dalam-dalam. Kata Aseng, memang benar, di Bagan siapi-api kebanyakan orang melakukan panen rampasan. Tiap 20 hari sekali, melakukan petik sarang. Peternak walet hanya mengejar rupiah. Walet hanya sedikit sekali diberi kesempatan untuk berbiak. Dari pengakuan Aseng itu, dugaan saya sepertinya tidak salah. Maka, wajar jika jarang saya lihat walet muda beterbangan sore hari di kota ini. Yang banyak saya lihat, walet dewasa atau walet tua.
Cara panen rampasan, juga dilakukan Yusuf yang tinggal di Kecamatan Kubu, 2 jam dari Bagan siapi-api. Tiap 20 hari atau 1 bulan, Yusuf melakukan petik sarang. Harga sarang yang dipanen dengan pola panen rampasan memang lebih mahal di banding harga panen tetasan. Sarang lebih bersih karena memang belum dipakai oleh walet. Tapi, cara ini sangat berbahaya, karena populasi walet dalam jangka panjang akan terancam.
Saya juga menjelaskan hal itu kepada Haris dan pak Heri. Kedua teman saya ini, tinggal di Bagan Batu, 2 jam dari Bagan siapi-api. Saya membantu atur tata ruang gedung walet kedua nya, agar populasinya bertambah meningkat. Juga saya jelaskan teknik panen sarang walet yang benar, yaitu panen selektif.
Suatu hari, sahabat dekat saya Ko Yu Cing yang tinggal di Sampit-Kalteng, meminta saya untuk melakukan cek lokasi di daerah Gresik Jawa Timur, tempat saudaranya, Adjie. Lokasinya di pinggir laut. Saya pasang 2 twiter di ujung bambu. Saya bunyikan cd cek lokasi. Dalam hitungan detik puluhan walet mulai berdatangan. Saya bunyikan sekitar 15 menit, ratusan walet berputar-putar di sekeliling twiter. Adjie nampak senang. Menurutnya lokasi tersebut sangat prospek walet. Rencana dia membangun gedung walet ber-tambah positif.
Saya segera telepon Yu Cing, “ sebaiknya niat membangun gedung walet di lokasi ini di urungkan saja…” Mendengar pembicaraan saya dengan Yu Cing, Adjie mengernyitkan jidat. Kenapa? Bukankah di lokasi ini sangat banyak burung walet? Itu dibuktikan dengan datangnya ratusan walet dalam waktu yang relative singkat? Kenapa Pak Arief melarang untuk membangun gedung walet di lokasi ini?
Saya jelaskan ke Adjie, memang betul banyak burung walet datang, tapi sebagian besar walet usia tua. Itu tampak dari postur fisik walet yang besar. Dari ratusan walet yang datang, hanya sedikit walet yang berusia muda. Itu pertanda di daerah Gresik tidak terjadi regenerasi populasi walet secara sehat. Mungkin peternak walet banyak melakukan teknik panen rampasan. Atau jika terjadi regenerasi, walet muda melakukan migrasi ke sumber pakan lain di luar wilayah Gresik.
Semakin bertambah tahun, daerah pantura pulau Jawa semakin gersang. Banyak pabrik dan perumahan dibangun. Kawasan hijau makin berkurang. Termasuk di Gresik. Jadi, walet yang tinggal di Gresik hanya walet tua saja. Tak lama lagi, walet tua menemui ajalnya. Banyak gedung walet di Gresik yang merosot tajam produksi sarangnya. Jika Adjie memaksakan diri membangun gedung di lokasi ini, jelas akan keliru. Sebab walet tua sulit untuk pindah gedung. Saat cek lokasi, saya lebih senang yang datang sebagian besar walet kecil atau walet usia muda. Kenapa begitu?
Saat diskusi di halaman rumah Aseng, datanglah Abun. Pria muda berambut cepak ini, usaha pokoknya di Benoa Bali, menangkap ikan tuna. Namun, dia mulai coba-coba terjun di budidaya walet berkongsi dengan Budi membangun gedung di Taicung, daerah sumber pakan di pinggiran kota Bagan siapi-api. Abun cerita, bahwa dia punya teman peternak walet di Sukabumi-Jawa Barat. Menurutnya di Sukabumi, juga terlihat walet dengan postur fisik besar. Tapi walet muda juga banyak beterbangan. Saya jelaskan, bahwa di Jawa Barat bagian selatan,yaitu Sukabumi, Bogor, Cianjur, Padalarang, termasuk daerah yang masih banyak hutan. Ini jaminan stok pakan bagi walet dalam jangka panjang.
“Itu pertanda walet yang hidup di Sukabumi makananya terjamin, maka waletnya gemuk. Dan banyaknya walet muda itu sebagai tanda proses regenerasi berjalan normal”. Kata Alien mempertegas.
“Jadi, burung walet di Sukabumi berpostur besar, bukan karena dekat dengan eMak Erot ……….”..sambung Budi berkelakar.