Setelah kerja di Manado, saya langsung terbang ke Palangkaraya-Kalimantan Tengah. Saya mengontrol beberapa gedung walet. Gedung pertama yang saya kontrol milik H. Mujib. Ini gedung walet paket hemat 1 lantai, dengan ukuran 4 m X 20 meter. Gedung ini berdinding papan dilapis gabus, dengan tinggi ruang hanya 2.5 meter. Atap dari seng. Sekat saya atur dari kain tebal warna hitam. Gedungnya terletak di atas bengkel sepeda motor di Jl Batam. Saya memanggil walet cukup dengan suara saja menggunakan mesin audio rakitan sendiri. Tentu dengan MMC yang berisi suara khusus. Pada awal pemanggilan, sekitar 50 ekor walet langsung menginap malam itu juga. Panggil walet cukup dengan suara elektronik. Tanpa ada setetes-pun cairan perangsang atau parfum. Memang, selama kerja 10 tahun lebih sebagai konsultan dan menangani gedung-gedung walet, saya belum pernah menggunakan apa yang namanya cairan perangsang, belum pernah menggunakan aroma apapun. Saya juga tidak pernah mengoles madu di papan sirip, atau melumuri dinding dengan telur busuk. Bagi saya tindakan tersebut tak ada dasar ilmiahnya. Saya memanggil walet hanya dengan cara serta teknik yang logis, rasional, dan empirik.
Sekali lagi teknik yang saya lakukan dalam memanggil walet cukup memutar suara rekaman. Biarpun tanpa cairan perangsang dan aroma walet, atau tahi walet, terbukti selama ini semua pekerjaan saya berhasil dengan sangat sukses. Tak peduli ukuran gedung. Dari gedung ukuran besar (saya juga mengelola gedung Aliong “Sentosa Teknik” Balikpapan), sampai gedung terkecil se Asia Tenggara (ukuran 4 m X 2.5 m) milik H. Bardiansyah-anggota DPRD Kalimantan Selatan). Kunci pokok memanggil walet adalah : 1) menggunakan sound system walet, 2) mengatur penataan ruang, dan 3) mengkondisikan iklim mikro gedung.
Saya juga tak pernah memanggil walet dengan menyediakan makanan serangga di dalam gedung. Memang yang terlihat, karena ada makanan, maka walet dari gedung lain pasti berbondong-bondong datang. Tapi rombongan walet datang cuma numpang makan dan numpang berak doang… he he. Setelah itu walet pergi lagi, besok datang lagi, lalu pergi lagi. Selama ada makanan, selama itu walet akan datang. Jika pemilik gedung capek, makanan habis, walet tak lagi mau datang.
Saya punya teman di Tuban-Jawa Timur, Pak Budi namanya. Dia membikin serangga dalam gedungnya. Walet banyak datang sepanjang hari, numpang makan, dan numpang berak. Setelah kenyang rombongan walet pulang ke gedung asal. Tapi, di luar dugaan, gara-gara dia menyediakan makanan di dalam gedung walet, para tetangga kiri kanan pada komplein. Apa sebab? Karena serangganya menyebar masuk ke rumah-rumah penduduk sekitarnya. Sejak kejadian itu, beliau tak mau lagi menyediakan serangga dalam gedung waletnya.
Kegiatan di Palangkaraya, yaitu mengontrol dan mengevaluasi hasil kerja bulan sebelumnya. Jam menunjukkan angka 09.00 wib. Saya bersama H. Mujib masuk ke dalam gedung walet paket hemat. Pintu gedung di buka, bau kotoran khas walet mulai terasa menyengat. Kotoran yang telah kering banyak terlihat menempel di dinding roving room. Kotoran juga banyak menumpuk di lantai. Lampu ruang dinyalakan. Banyak walet di dalam gedung beterbangan.
Pada bulan sebelumnya, saya sudah “meramal”, bulan depan walet akan membikin sarang di sudut A, sudut B, sudut C, dst. Dan. prediksi saya tidak meleset. Walet membikin sarang di papan sirip yang sebelumnya sudah saya tunjukkan ke H. Mujib. Kebanyakan letak sarang ada di sudut karena umumnya walet usia muda yang membikin sarang. Melihat itu H. Mujib sangat bersyukur. Matanya berkaca-kaca. Mulutnya bergerak-gerak entah apa yang diucapkan. Saya menduga, pertama, dia memuji Allah, kedua, memuji saya… he he ..( narsis banget dech).
Setelah itu saya mengontrol gedung H. Zaenal yang terletak di atas tokonya. Kesibukan sehari-hari pengusaha muda ini menjual pupuk dan obat pertanian di Jl. Irian. Di atas tempat usaha ini dia membangun gedung walet 2 lantai. Dinding dari batam atap dari asbes dan lantainya dari papan. Bak air cukup dibuat dari papan yang bagian tengahnya diberi plastik tebal. Bikin kolam secara murah dan praktis. Letak kolam ada di nesting room, karena ruang bersarang harus memerlukan kondisi udara yang lembab.
Saya masuk ke dalam gedung secara pelan-pelan. Udara di luar panas menyengat, tetapi di dalam lumayan nyaman. Ini karena H. Zaenal melapis semua dinding gedung dengan sterofoam. Karena sejuk dan kelembapannya terpenuhi, maka pantaslah kalau banyak walet di dalam gedung tak mau keluar. Di beberapa sudut papan sirip, sarang walet mulai kelihatan. Ukurannya bervariasi. Sebagian besar masih se-ukuran 2 jari. Maklum, baru 2 bulan gedung H. Zaenal ini saya kelola.
Yang membuat H. Zaenal tambah girang, beliau sudah punya 4 cucu. Ya empat cucu yang masih berkulit merah belum berbulu, saya perkirakan baru sekitar 1 minggu menetas. Ada 2 buah sarang yang di dalamnya sudah menetas piyik walet. Pengusaha muda ini mulai dikaruniai 2 pasang cucu walet. (bercanda ya bos…)
Sebelum keluar gedung, saya mengatur sekat tambahan, yaitu desain sekat seperti hurup L dengan lebar 50 cm (setengah meter saja). Cukup dari kain. Saya bilang, walet pasti bersarang di tempat ini. Sebagai garansi, saya tanda tangan !
Selanjutnya saya ke tempat H. Iwan. Gedungnya juga minimalis, ukuran 3 m X 6 m. Sehari-hari anak muda ini menjual bahan bangunan di Jl. RT Meilono arah ke Banjarmasin. Daripada gak bermanfaat, di atas ruko ini dia bangun usaha untuk budidaya walet. Bangunanya sederhana, dengan dinding batako dan atap asbes. Untuk sekat ruang menggunakan papan tripleks seadanya. Di gedung ini, saya merubah posisi lubang masuk, serta mengatur tata ruang. Ini saya lakukan agar akses walet jauh lebih mudah di banding sebelumnya. Populasi walet di gedung ini sekitar 300 ekor.
Esok harinya saya mengontrol gedung H. Ali di Jl. Seram. Gedung walet nya juga di atas ruko. Namun ini dengan ukuran yang lumayan luas, yakni 8 m X 12 m. Tinggi lantai hanya 2 meter. Sebelum dibangun, Ali sempat ragu-ragu, Pak Arief, berapa minimal tinggi ruang? Apakah bisa dengan hanya 2 meter? Saya jawab, bisa saja. Jika ruangan luas, maka, tinggi ruang bahkan bisa 1.5 meter saja. Namun jika ruang gedung sempit, tinggi ruang minimal 2 meter. Ini semua berhubungan dengan kemudahan terbang walet menuju sarangnya.
Sore hari saya dijemput H. Soharto, untuk mengontrol gedungnya di Kerengpangi. Lokasinya, sekitar 2 jam dari kota Palangkaraya arah ke Sampit. Gedungnya dibangun di atas toko. Tinggi ruang juga sekitar 2 meter saja. Di lubang masuk bagian dalam, yaitu di bagian bibir bawah lubang masuk dipasang papan triplek. Tujuan beliau, agar cahaya tidak banyak masuk ke dalam gedung. Bagi saya itu akan menghalangi gerak terbang burung saat pulang petang hari dengan kecepatan penuh. Adanya papan tersebut sangat menggangu keleluasaan walet masuk ke dalam gedung.
Maka, sore itu juga, saya minta anak buahnya melepas papan triplek tersebut. Di lubang masuk burung, jangan ada gangguan, termasuk papan triplek tadi. Selain itu saya juga mengatur penempatan kolam, penempatan twiter void, serta penempatan lampu. Sampai saat ini jumlah sarangnya, Alhamdulillah sudah hampir 1 kg.
Kesimpulannya : memanfaatkan potensi ekonomi dengan cara membangun gedung walet di atas toko. Biarpun dengan bangunan kecil atau sederhana, jika kondisi iklim mikro terpenuhi, walet akan oke-oke saja. Gak usah muluk-muluk targetnya. Cukup 1 bulan bisa panen 2 kg sarang walet, sudah kamsia kamsia.
Apakah anda memiliki ruang kosong di atas kantor, di atas ruko, di atas rumah, dll ? Jika lokasi anda terdapat burung walet, kenapa tidak dimanfaatkan untuk budidaya burung berliur mahal ini ? Modal gak perlu banyak, sebab bahan bangunan bisa dengan papan ulin, batako, papan plester, atau papan yang dilapis asbes. Jika orang lain bisa, kenapa anda tidak? Jika orang lain mampu, kenapa anda tak mau ? Jika orang lain sudah menikmati lezatnya air liur walet, kenapa anda … he he he (maaf) hanya menelan air liur anda sendiri ? Rasanya pasti beda bukan?