Sudah setahun janji untuk silaturahmi ke Agen duniawalet Palembang, baru kesampaian sekarang ini. Di pintu kedatangan Bandara Palembang, Bang Aang, mas Ari, juga Andi Makmur dan mas Pepen menjemput saya. Segera kami mencari warung. Perut sudah keroncongan. Tak lama setelah makan dan shalat jama’ qosor kami segera otewe. Lokasi agen bukan di kota Palembang, melainkan di sebuah kecamatan terisolir harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam. Jalan darat yang kami lalui kurang mulus alias banyak berlubang.
Sekitar pukul 4 sore, setelah membelah hutan karet, baru nyampe tujuan yaitu Tulung Salapan.
“Ini jalan sudah buntu, ujungnya adalah rawa. Maka daerah kami lambat berkembang,” jelas Bang Aang.
Tulung Salapan termasuk daerah sentra walet. Hampir 1000 rumah walet berdiri di lokasi ini. Sore itu kami keliling desa melihat kompetisi berebut walet. Hampir setiap rumah tinggal pada lantai atasnya untuk rumah walet. Jika ada tanah kosong, sudah dipastikan disampingnya berdiri bangunan rumah walet.
Jadi, kondisi rumah walet di Tulung Salapan ini berjejal padat. Suara elektronik yang ramai bersahutan memancar dari lubang LMB yang rata rata sempit. Sebagian bunyi suara panggil 24 jam. Jika malam hari sebenarnya hal itu mengganggu masyarakat. Namun mungkin karena sudah terbiasa sejauh ini tidak ada yang komplein meski suara malam hari terdengar nyaring.
Rata rata tinggi bangunan disini 3 lantai dan pakai menara atau rumah monyet. Menurut informasi hanya hitungan jari saja rumah walet yang produktif. Sebagian besar gagal berkembang. Penyebabnya tidak lain karena persyaratan inti dalam budidaya walet tidak sesuai standar. Sebagian besar rumah walet terbuat dari dinding papan yang bagian luarnya di lapis karpet warna hitam.
Melihat fisik rumah walet dilapis karpet hitam kita sudah bisa menduga mengenai suhu serta tingkat kelembapanya rumah walet tersebut. Pasti suhu didalamnya gerah. ” Bahkan kalau siang hari, telapak tangan kita tempelkan di karpet hitam itu rasanya panas seperti hampir terbakar” jelas Bang Aang. Sebagian rumah walet lain tampak putih berkilau. Itu karena dilapis seng alkon. Kondisi suhunya juga 11-12 dengan yang berlapis karpet.
Hampir semua rumah walet di sini tampak hitam & putih. Yang hitam dilapis karpet hitam, yang putih berkilau karena dilapis seng alkon.
Malam hari saya istirahat di rumah Mas Ari Sekdes Tulung Salapan Ilir. Alhamdulillah tidur sangat nyenyak. Dilantai atas, walet juga tidur nyenyak.
Esok pagi kami siap meluncur ke Sungai Lumpur. Speed sudah siap parkir di dermaga. Saya mengamati fisik kendaraan air yang akan membawa kami. Bagian depan agak aneh. Bentuknya mirip lidah naga atau sepatu aladin agak melengkung ke atas. ” Ini speed khusus untuk transportasi sungai. Gerakannya lebih lincah dibanding speed di Kalimantan. Bagian depan bentuknya mirip sepatu aladin diatas permukaan air. Jika menerjang gelombang tidak terlalu terasa goncanganya.
Beda dengan model speed Kalimantan yang bagian depan lancip. Lebih terasa berguncang saat membelah air dan mengiris gelombang.” jelas bang Aang.
Perjalanan ke lokasi Sungai Lumpur memakan waktu 2.5 jam. Sepanjang sungai tampak rumah walet hitam putih. Pemilik tak lupa memberi nama ( mungkin nama anaknya) dengan huruf besar pada bagian depan rumah waletnya hingga mudah dibaca orang.
Speed terus melaju. Langit biru dengan sedikit awan berarak. Suara walet elektronik bersahutan. Speed meliuk liuk mengikuti kelok sungai. Kamera canon 60 D saya keluarkan dari tas. Saya pasang lensa wide dan siap membidik lanskap indah refleksi air bening di pagi yang cerah itu.
Tidak terasa kami memasuki Sungai Lumpur. Speed mulai pelan mencari tambatan. Desa ini merupakan muara yang berhadapan dengan selat bangka. Sei Lumpur termasuk sentra walet lama. Bangunan rumah walet berdesak desakan amat padat. Mayoritas berdinding papan. Sebagian besar dilapis karpet hitam sebagian yang lain dilapis seng alkon. Maka yang terlihat adalah rumah walet hitam putih.
Ada 500 an rumah walet berdinding papan di sini. Sebuah sentra walet yang rawan api.
Tahun 2011 api melalap lokasi ini. Hampir 70% rumah walet terbakar habis. Pemilik menangis. Walet ikut menangis. Ribuan walet pindah ke rumah walet hitam putih yang selamat dari jago merah. Sebagian penduduk di Sungai Lumpur ini dari suku Bugis.
Kami keliling sebentar melihat sentra walet padat di lokasi ini.
Kades Fery Syarif Ali mendampingi saya dan Team. Orangnya murah senyum, berbadan gempal, pakai kaos merah duniawalet. Terimakasih pak Arief sudah berkunjung di wilayah kami”, kata beliau ramah.
Tak lama kemudian kami kembali melanjutkan perjalanan. Jaket tebal saya pakai. Tujuan akhir ke Sei Somor sekitar 1 jam menyisir pantai melewati selat Bangka. Gelombang laut tidak terlalu besar. Namun angin menerpa agak keras karena speed melaju cepat. Suryadi alias tepos pemegang kemudi sekaligus member duniawalet dengan lincah membawa kami. ” Nanti mampir sebentar ke lokasi kami pak. Jika sore hari ribuan walet beterbangan di areal tambak kami”, kata bang Tepos.
Usai meninjau lokasi tambak udang yang cukup luas yang sangat prospek walet, kembali speed melaju di atas gelombang laut. Kami penumpang terantuk antuk mirip naik kuda.
Tepos menggeber gas memburu waktu melewati Kuala Sungai Jeruju dan Kuala Sungai Pasir.
Tak lama kami sampai di Sie Somor.
Di desa ini sama pemandanganya yaitu rumah walet hitam dan putih pakai rumah monyet dengan ukuran LMB yang tidak terlalu besar. Gedung milik bang Suryadi Tepos tampil beda dengan tinggi 4 lantai dengan desain khas duniawalet berlapis gabus 3cm dan ditimpa cat warna putih jotun ekstrim. Tak heran kondisi suhu & kelembapan jelas oke, serta tata ruang yang simpel dan tepat.
Jarum jam semakin sore, kami pamit pulang menuju Sungai Selapan. Rasa kantuk membuat perjalanan 3,5 jam terasa cepat.
Catatan penting yang kami diskusikan dengan Agen Palembang yaitu bahwa potensi ke depan di daerah ini sangat besar. Populasi walet sangat tergantung oleh pakan. Jika pakan berlimpah maka walet betah dan populasinya akan terus bertambah.
Ribuan hektar perkebunan sawit dari beberapa PT sudah siap operasional. Saat ini saja pohon sawit mulai tumbuh buah pasir di 2000 ha lahan rawa tidak jauh dari Tulung Selapan. Ini artinya masa depan populasi walet akan berkembang subur. Karena itu jika serius mau sukses budidaya walet, faktor suhu-kelembapan serta tata ruang-tata suara harus dipersiapkan dengan benar sesuai habitat burung kecil berliur mahal itu. Salam sukses.