Rabo pukul 15.15 waktu Indonesia Tengah, tanggal 21 maret kemarin kami tiba di Bone Sulawesi Selatan setelah menempuh perjalanan darat sekitar 4 jam dari Pinrang melalui Wajo dan Sengkang. Kami bersama bang Arifudin dan bang Ags Sani calon sub agen duniawalet di Pinrang.
Saya sudah beberapa kali berkunjung ke Bone. Awalnya, pada 8 tahun lalu saya ada penanganan khusus gedung walet milik bang Arfan dan Bang Jefri. Saat itu kondisi persaingan sudah mulai terasa, jumlah RBW mulai tumbuh sementara jumlah populasi walet belum banyak.
Pada 8 tahun lalu itu sudah terasa tidak mudah untuk memanggil walet. Di dalam kota sudah banyak RBW berdiri. Dan kompetisipun terjadi yaitu gedung cari walet. Maka saat itu pun teknik pengaturan pada faktor internal harus dilakukan secara tepat.
Dua tahun lalu, tepatnya tgl 21 februari 2016 kami menyelenggarakan seminar budidaya walet di hotel Novena Bone. Saya didampingi staf kantor pusat duniawalet bang Samsul dan Nafies Azmi. Materi seminar saya fokuskan pada trik memanggil walet di tengah persaingan.
Setelah seminar, minat masyarakat Bone untuk terjun dalam usaha budidaya walet ini mulai tampak. Banyak bangunan baru yang berdiri di berbagai sudut kota. Di daerah Sukowati yang sebelumnya hanya beberapa RBW, sekarang sudah berjejal berebut burung berliur mahal ini, sebagian memanfaatkan bangunan ruko. Begitupun di Jl Husein Jadawi, juga di daerah Pepaya, suara walet elektronik sahut menyahut pertanda terjadi perang suara berebut walet.
Apalagi dalam 1 tahun terakhir ini pembangunan RBW di Bone sangat luar biasa. Di mana2 tampak orang membangun gedung walet. Jika ada truk mengakut semen dan besi, 90% bisa ditebak untuk membikin gedung walet.
Bone saat ini seolah telah menjadi kota walet seperti sentra walet lain di Indonesia. Namun bukan berarti ratusan gedung walet dalam kota ini akan menunai hasil yang menggembirakan seperti yang dibayangkan. Tidak mudah menarik populasi walet dari gedung yang sudah produktif ke gedung baru. Butuh keahlian khusus serta jam terbang yang lama. Dalam catatan saya, di berbagai kota walet di Indonesia, RBW produktif hanya 25 % saja. Sedangkan yang 75 % lainya hanya berisi puluhan atau ratusan sarang walet saja.
Beberapa pemilik RBW di Bone mengeluh kenapa dalam 1 tahun hanya berisi sarang walet dalam hitungan jari saja. Ternyata tidak mudah seperti yang diperkirakan. Sementara investasi ratusan juta terlanjur ditanam.
Salah satu sebabnya, RBW yang dibangun itu hanya ikut-ikutan saja karena menyangka begitu mudah untuk memanggil walet. Apalagi tukang bangunan yang mengatur desain tata ruang tanpa memahami ilmu teknik yang benar. Tidak pula diperhatikan kondisi suhu serta kelembapan. Tidak sedikit saya lihat dinding luar RBW yang tanpa diplester semen. Dari jauh terlihat dinding luar RBW asal asalan saja, cuma bata telanjang. Ini tentu menimbulkan problem terhadap suhu ruangan. Oleh karena itu wajar jika RBW semacam ini kurang produktif.
Pada kedatangan saya di Bone kali ini untuk mengatur ulang kondisi internal gedung walet milik bang Asril dan bang Ochel. Saya didampingi bang Topan agen duniawalet Kalimantan Selatan yang ternyata asli orang Bugis.
Gedung walet bang Asril berada di kelurahan Cenrana sekitar 40 menit dari kota Bone. Lokasi gedungnya hanya beberapa meter dari sungai Pallima. RBW yang berdiri dekat aliran sungai dari segi kelembapan luar gedung sangat menunjang. Selain itu sangat menguntungkan bagi perkembangan populasi walet, sebab jalur sungai mudah dihafal sebagai jalur pergi dan pulang terutama bagi walet muda.
Di roving area depan RBW bang Asril terdapat beberapa pohon nyiur. Sebagian sudah ditebang agar tidak menggangu arus putar walet sebelum masuk gedung.
Tanpa membuang waktu kami segera masuk RBW bang Asril melalui tangga di sudut dapur rumah tinggal.
Menjadi kebiasaan saya selama ini untuk mendeteksi kasus pada sebuah RBW, saya cek terlebih dahulu LMB dan voidnya. Maka saya naik ke lantai atas untuk mengetahui apakah ada kesalahan atau ada yang kurang tepat.
Menurut istilah saya, LMB ibarat mulut. Sedangkan void adalah tenggorokan. Sementara nesting room adalah perut.
Hubungan antar ketiganya harus mudah serta lancar tanpa ada hambatan. Sehingga makanan yang telah masuk ke dalam mulut akan mudah turun ke perut melalui tenggorokan.
Pada gedung walet bang Asril problemnya bukan di “mulut” melainkan di “tenggorokan”. Sebab mulut atau LMB gedung walet ini, posisi maupun ukuranya sudah oke. Namun ada problem pada sekat voidnya. Yaitu ada jarak 1.5 meter antara sekat dan void. Saya sarankan agar sekat diatur agak dekat ke bibir void dengan jarak sekitar 30 cm. Lantai pada bibir void yang terlalu lebar membuat walet cenderung berputar-putar tidak segera turun ke lantai bawah.
Karena itu untuk mempersempit kecenderungan walet berputar2 di ruang void, maka saya sarankan agar sekat dimajukan lagi.
Namun penempatan sekat pada bibir void juga tidak boleh terlalu sempit yang membuat walet sulit mengambil posisi terbang menukik. Jika ruang di sekitar void itu sempit, dari 20 ekor walet yang masuk gedung hanya 3 atau 5 ekor saja yang turun. Saya jadi teringat saat penanganan gedung walet milik ko Engkian di Balikpapan 10 tahun lalu. Walet gagal turun hanya karena letak sekat yang sempit membuat walet sulit. Setelah sekat saya geser agak lebar, walet akhirnya mudah turun.
Perjalanan kami lanjutkan ke RBW bang Ochel. Sekitar 1 jam kami sampai ke lokasi yaitu tepatnya di kompleks pasar Mare.
RBW bang Ochel berukuran 4 m x 12 m 2 lantai. Ada kotak monyet dengan luas 2 m x 2 m. Voidnya sempit 120 cm x 120 cm. Usia RBW ini sudah 14 tahun. Namun hasil panen selektif hanya dapat 2 sd 3 kg/ bulan. Banyak anak walet yang gagal pulang, sehingga populasi tidak berkembang secara baik. Pada kondisi normal usia RBW yang sudah 14 tahun populasinya sudah padat, dengan hasil panen selektif sekitar 10 sd 20 kg.
Saya masuk ke dalam RBW. Ruangan lumayan gelap dan lantai sangat kotor. Bang Topan mempersiapkan senter. Bau menyengat kotoran walet sangat kuat. Suhu dan kelembapan sangat oke.
Problem RBW bang Ochel ini terletak pada mulut dan tenggorokan.
Maka akibatnya perkembangan populasi walet terhambat bertahun2. Saya segera menganalisa lalu saya tunjukkan posisi mulut yang benar. Letak dan ukuran tenggorokan juga saya sesuaikan dengan tepat. Agar jalur antara mulut-tenggorokan-perut lancar tanpa hambatan.
Setelah diatur ulang insyaallah RBW ini ke depan akan produktif.
Matahari semakin turun, gerimis kecil mulai mengundang lapar. Kami mampir ke gedung walet bang Topan di Mare ukuran 8 m x 12 m, 3 lantai yang mulai produktif. Suara panggil white dragon mengundang birahi koloni walet muda.
Saya sempat bersalaman dengan ibunda bang Topan yang sudah sepuh namun masih segar meski ada gangguan kecil dipenglihatan.
Hidangan sudah siap di meja makan. Ada kepiting, udang, kakap merah dan makanan khas bugis yaitu Lawa ‘ Bale. Orang menyebutnya sushi bugis. Terbuat dari daging ikan mentah yang sudah disuwir halus dipadu parutan kelapa muda, pakai jeruk nipis sedikit, wow … nikmatnya … alhamdulillah makan kami lahap sekali.
Salam hangat Duniawalet.