Kamis sore tgl 26 Juli kemarin saya mendarat di Bandara El Tari Kupang NTT setelah menempuh perjalanan direct dari Surabaya.
Kesan pertama menginjakkan kaki di Kupang Nusa Tenggara Timur ini yaitu sebuah daerah yang gersang dan tandus. Hanya sedikit areal persawahan, selebihnya adalah tanaman yang tumbuh di atas bebatuan karang. Dalam 1 tahun hanya turun hujan 4 bulan. Itupun tidak sederas curah hujan di Jawa. Saat saya keliling di beberapa lokasi perbukitan di Kupang, yang tampak tanaman kering dengan dedaunan yang gundul.
Saya diundang Denny, pemilik 2 gedung walet di Kupang. Anak muda yang tahun lalu mengenyam pendidikan di negeri Paman Sam itu kini sibuk fokus mengembangkan usaha budidaya walet. Gedung walet yang pertama ada di dalam kota, sudah lumayan produktif. Gedung yang kedua masih bermasalah.
Gedung walet yang kedua ini dibangun sekitar 6 tahun lalu dengan ukuran 8 m x 12 mtr 2 lantai di pinggir laut desa Tablolong sekitar 45 menit dari kota.
Mengapa membangun gedung walet di tengah hutan?
Alasanya karena di lokasi tersebut terdapat goa yang dihuni oleh burung walet. Alasan itu memang rasional. Dengan harapan, populasi walet akan pindah dari goa ke gedung. Namun ternyata harapan itu pupus di tengah jalan. Gedung walet yang dibangun dengan biaya ratusan juta hingga sekarang belum juga ada tanda tanda positif. Tidak ada satupun walet yang menghuni gedung itu. Padahal suhu dan kelembapan sudah oke. Denny bingung kenapa walet tak mau masuk dan menginap. Maka dibuatlah rumah monyet. Namun ditunggu hingga 3 bulan tetap saja tak ada perubahan. Walet yang menguni goa tidak tertarik pindah ke gedung.
Jumat kemarin saya survey lokasi. Ada 2 goa yang jaraknya berdekatan dengan gedung walet. Lahan tanah Denny seluas 2 hektar dan status gua tersebut milik pribadi. Goa yang sebelah utara jaraknya 50 meter berisi burung seriti dan goa sebelah selatan berisi burung walet. Lmb goa walet ini dipasang teralis besi karena beberapa kali dimasukin pencuri.
Di wilayah Tablolong memang banyak terdapat goa. Tipe goa di daerah tepi laut ini tidak luas. Lebih merupakan rongga antar bebatuan karang. Rongga tersebut berada di bawah tanah dengan pepohonan kering di atasnya. Itulah mengapa pepohonan di wilayah ini kurang subur. Dalam 1 tahun daerah ini hanya 4 bulan diguyur hujan. Pulau Timor ini sebagian besar terdiri bebatuan karang. Saat perjalanan ke Tablolong, sepanjang mata memandang terlihat gundukan bukit namun itu tidak lain bukit batu karang yang hanya sedikit tanah di bagian atasnya. Pepohonan kering hanya sedikit dedaunan hijau.
Khususnya di Tablolong banyak terdapat rongga bawah tanah. Kondisi suhu dalam rongga lumayan sejuk karena panas matahari terhalang tanah dan pepohonan di atasnya. Sebagian goa kelembapan tinggi karena air laut masuk ke dalamnya. Burung walet dan seriti memilih goa bawah tanah ini untuk berkembang biak.
Lubang masuk burung/ lmb di goa ini tidak besar, sekitar panjang 1 meter dan lebar 60 cm. Saya cukup jongkok saja untuk mendekati lmb. Rongga goa di dalamnya tidak luas. Burung walet dan seriti memang agak kesulitan karena kondisi dalam goa yang sempit. Namun karena terbiasa maka populasi walet dan seriti di goa tersebut berkembang dari tahun ke tahun.
Matahari mulai turun. Semburat cahaya jingga menghiasi langit. Pantulan cahaya sunset sangat indah menerpa pantai Tablolong menyeruak diantara ranting kering. Koloni walet dan seriti mulai pulang berduyun dari sumber pakan pulau Semau yang hijau, lalu antri masuk ke dalam lmb goa yang sempit. Potensi ekonomi yang tersembunyi di dalam rongga tanah Nusa Tenggara Timur.