Suatu siang sekitar pukul 12.00 wib saya sampai di gerbang tapal batas antara propinsi Kalimantan Tengah dengan Kalimantan barat. Saya melepas penat setelah menempuh perjalanan 4 jam dari kota Pangkalanbun. Saya singgah untuk makan siang di rumah makan Barokh Adonai desa Hulu Jajabo yaitu desa terujung di Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah. Lokasi rumah makan sangat luas. Ada 10 meja kursi yang disediakan untuk konsumen. Bang Alfian, owner rumah makan ini mempersilahkan mengambil nasi dan lauk secara swa layan. Saya menuju lemari kaca seperti di warung Padang tempat sayur mayur, piring serta termos nasi disiapkan. Ada opor, ayam goreng, sayur rebung, terong bakar dan menu lainya. Saya mengambil nasi dan sayur rebung dan opor ayam.
Di pertengahan makan, suara cericit burung walet ramai terdengar. Ratusan burung berliur mahal ini terbang berkejaran di atas rumah makan. Mengganggu konsentrasi makan.
Setelah selesai makan dan minum teh hangat, saya keluar ke halaman parkir. Memang saya lihat banyak burung walet terbang berputar di sekitar lokasi rumah makan yang sejuk dan lembab. Karena daerah ini berada di tengah hutan dimana banyak pepohonan yang rimbun. Lokasi seperti ini pasti banyak serangga sebagai makanan burung walet. Tempat ini Iklimnya cocok bagi habitat burung walet.
Saya memanggil bang Alfian untuk ikut melihat ratusan burung walet yang terbang bercengkerama di atas rumah makan.
” Kenapa tidak ditangkap peluang ini dengan menyediakan rumah walet? Membangun usaha budidaya walet disini peluangnya sangat besar. Sebab tidak ada saingan juga ini merupakan lokasi pakan yang tepat.”
Alfian yang berasal dari Palangkaraya ini menjawab, ” Saat ini sedang proses membangun rumah walet. Lokasinya tidak jauh dari rumah makan ini. Tujuanya agar mudah kontrol dan pengawasan. Namun saat ini sedang break sebentar mengingat dana masih kurang. Nanti kalau dana sudah terkumpul akan dilanjutkan lagi,” kata Alfian yang sudah 9 tahun tinggal di desa perbatasan.
” Belum lama ada tamu yang makan di sini. Setelah melihat peluang usaha walet disini yang sangat menjanjikan, tamu tersebut mengajak kerja sama. Tapi saya menolak dengan halus. Saya lebih suka membangun usaha sendiri dengan keringat sendiri. Saya kawatir kalau kerja sama nanti bisa repot di belakang hari. Mending saya membangun usaha sendiri. Biar pelan tapi lebih tenang di hati. Sebab usaha walet adalah usaha jangka panjang. Bahkan sampai generasi anak cucu”. Jelas Alfian memberi alasan.
(Dalam perjalanan sampai ke desa Hulu Jajabo ini memang saya lihat masih jarang ada bangunan rumah walet. Sementara perkebunan sawit ribuan hektar dan perbukitan yang subur merupakan lahan luas bagi kehidupan serangga makanan burung walet.
Saya menikmati perjalanan siang itu meskipun menempuh jarak lumayan jauh tapi tidak terasa lelah. Mobil terus melaju melalui jalan aspal berkelok kelok membelah perbukitan yang mulai berkabut.
Beberapa jembatan kami lalui. Ada jembatan Sei Sintang, Sei Penopa, Sei Situnga dan Sei Kudangan. Gerimis mulai turun menerpa kaca mobil Inova yang kami tumpangi.
Sampai desa Kudangan kami singgah sebentar di kios kecil membeli air meneral. Tidak jauh dari kios ada bibit tanaman tinggi 1 meter. Kata pemilik, itu bibit pohon ulin pesanan rutin dari Perhutani. Agar pohon asli bumi Kalimantan ini tetap lestari setelah amuk ilegal loging akibat carut marut manajemen pemerintahan masa lalu.)
Jarum jam terus bergerak.
Saya pamit melanjutkan perjalanan. Bang Alfian menjabat tangan saya. Saya doakan segera terkumpul dana agar segera dapat meneruskan pembangunan rumah walet. Tujuan kami berikutnya singgah di kota walet Nanga Tayap, Kalimantan Barat. (bersambung)