Setelah dari kota Ketapang, trip saya selanjutnya ke Nanga Silat, Kecamatan Silat Hilir Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Saya di jemput H. Syalamsyah di Bandara Tebelian Sintang, setelah sempat delay 2 jam dari Pontianak akibat hujan lebat.
Setelah istirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan ke Nanga Silat tempat beliau membangun gedung walet.
Mobil fortuner putih melaju di atas jalan yang basah dengan jalur berkelok. Karena sudah hapal medan jalan, H. Syalamsyah yang usianya masih di bawah 50 tahun itu, tancap gas mengejar waktu. Saya mengenakan sabuk pengaman.
Kurang lebih 1 jam, kami sampai di Simpang Silat. Di kota kecil itu tampak berdiri puluhan gedung walet. Suara walet bersahutan. Burung kecil beterbangan di langit dan sebagian berkerumun di mulut LMB.
Pada kunjungan pertama, sekitar 6 bulan lalu, saya sempat istrihat sebentar di Simpang Silat ini untuk makan siang. Namun kali ini kami meneruskan perjalanan karena waktu sudah agak sore. Menuju Nanga Silat kami melalui jalan tanah. Mobil dobel gardan tidak kesulitan ketika melewati jalan berlumpur. Dan langit masih mendung ketika kami sampai di pinggiran sungai.
Setelah mobil diparkir, kami menurunkan perlengkapan termasuk koper pakaian. Perahu kayu bermesin diesel sudah siap di dermaga kecil. Saya sudah janji akan menginap di rumah H. Syalamsyah. Agar bisa melihat kondisi lingkungan sore dan pagi hari.
Hanya butuh beberapa menit menyeberangi sungai selebar sekitar 400 meter, perahu sudah sampai di desa Nanga Silat. Beberapa rumah walet sudah mulai tampak berdiri di kampung kecil itu. Jumlah petani walet di desa kecil itu sudah lumayan banyak. Suara walet dari lubang LMB terdengar bersahutan. Burung kecil berliur mahal beterbangan di langit. Sebagian menukik di permukaan sungai untuk minum lalu terbang lagi.
Kami istirahat sejenak di rumah H. Syalamsyah. Setelah shalat jamak qoshor duhur dan ashar, saya meluncur ke lokasi gedung beliau. Gedungnya ukuran 12 m x 24 m dengan tinggi 5 lantai. Itu gedung terbesar yang ada di Silat Hilir. H. Syalamsyah memang termasuk salah seorang yang dipandang sukses di kampung tersebut. Ia berprofesi sebagai kontraktor yang menangani berbagai proyek pemerintah di Kalimantan Barat. Jadi untuk membangun gedung, beliau sudah berpengalaman. Karena itu gedung walet itu beliau bangun sendiri.
Ada satu gedung yang paling lama berdiri. Milik Najib warga setempat. Ukurannya 8 m X 24 m tinggi 3 lantai. Dibangun sejak 2010, menggunakan suara panggil Jaguar dan Apollo secara bergantian. Inapnya menggunakan inap super dan populasi. Hasil panen sudah lumayan banyak lebih dari 10 kilogram tiap bulan. Waktu saya kontrol gedung H. Syalamsyah, anak muda itu menyalami saya dengan wajah suka cita. “Alhamdulillah pak Arief, hasil panen sarang walet sampai sekarang sudah menggembirakan,” katanya bersyukur.
Menurut pengamatan saya, daerah Nanga Silat termasuk lokasi yang memenuhi syarat untuk budaya burung walet. Selain hutannya yang subur juga lokasi tersebut berada di pinggir sungai dimana kondisi kelembapan lingkungan sangat disukai oleh burung walet. Lokasi ini juga tidak jauh dari danau Sintarum. Danau yang sangat dikenal di dunia. Bahkan danau ini disebut sebagai paru-paru bumi.
Habitat serangga kecil di danau yang luasnya 132.000 hektar jelas sangat berlimpah. Makanan walet yang berlimpah ruah ini sudah pasti akan membuat populasi burung walet di lokasi tersebut akan bertahan hingga jangka panjang. Karena itu lokasi ini sangat menjanjikan untuk budidaya burung walet.
Dari alasan inilah Bp. H. Syalamsyah selain telah membangun 1 unit gedung, juga sedang mempersiapkan lahan baru yang cukup luas di desa ini juga. Sore hari menjelang maghrib saya sempat meninjau lokasi tersebut. Saya lihat tanah yang semula gambut sudah ditimbun dengan tanah padat. Alat berat ekskafator milik pribadi tampak parkir di lokasi tersebut untuk bekerja sehari-hari. Saat adzan magrib berkumandang puluhan walet melintas di atas lahan tersebut.
Sehabis shalat Isya’ sambil duduk lesehan di halaman tengah rumah Bp. H. Syalamsyah beberapa tamu datang. Kami membuka diskusi kecil. Ada sekitar 14 orang malam itu termasuk 2 orang alumni seminar di Putussibau yang sekarang sudah panen 2 kilogram lebih tiap bulan.
Salah seorang bercerita mengenai kondisi gedungnya di pinggiran sungai Nanga Silat. Gedungnya tinggi 5 lantai. Atapnya menggunakan seng. Ruang antara atap dan lantai 4, daripada kosong mubadzir, maka difungsikan juga sebagai lantai 5. Namun kondisinya sangat panas karena faktor atap seng. Kemudian, ia melapisi di bawah seng dengan gabus dan papan dan di pasang papan sirip. Setelah dilapis, suhu lantai 5 tidak terlalu panas lagi, meskipun angkanya masih di atas 29 derajat celcius. Namun ternyata burung walet mau bersarang juga di lantai tersebut.
Lalu saya bertanya, kenapa burung walet mau menghuni ruang lantai 5 padahal suhunya cukup tinggi? Ada yang menjawab, akses masuk lantai atas lebih mudah karena dekat dengan LMB. Yang lain menjawab kemungkinan walet sulit turun ke void sehingga akses yang paling mudah yaitu lantai atas.
Saya jelaskan ada 2 hal yang perlu dipahami pada kasus ini. Yaitu, pertama lokasi di pinggiran sungai berefek positif yaitu berkelembapan tinggi. Itu akan berpengaruh bagi gedung walet yang berdiri di sekitarnya. Yaitu baik pada siang hari apalagi di malam hari, kelembapan air sungai akan masuk ke dalam gedung walet dan menyebabkan kondisi iklim mikro gedung tersebut juga lembab. Dengan kata lain kelembapan luar akan membantu kelembapan di dalam gedung.
Kedua, terdapat banyak populasi burung waletnya di lokasi tersebut. Di lokasi ini walet butuh rumah, maka biarpun suhu ruang agak panas tetap ditempati oleh burung walet. Sebagai bukti, meskipun kondisi lantai 5 suhu di atas 29 derajat, walet tetap saja mau menghuni dan bersarang.
Diskusi kecil itu ditutup pukul 10 malam. Saya minta ijin untuk istirahat. Gelas-gelas kopi mulai diangkat ke dapur. Angin berhembus pelan membawa kelembapan sungai masuk ke dalam rumah.