Seorang “pemain walet” di sebuah kota di Jawa Timur, Pak Hartono, suatu hari menyempatkan menemui saya di Airport Juanda Surabaya. Saat itu saya memang sedang transit hendak menuju ke Balikpapan. Ada waktu luang sekitar 90 menit yang bisa saya manfaatkan untuk memberi konsultasi ke pak Hartono, yang sehari sebelumnya sudah janjian ketemu. Salah satu pertanyaannya adalah, mengapa tiap periode berbiak, sebagian besar hanya ada 1 piyik walet di sarang. Padahal saat masih berujud telur, terdapat 2 telur walet. Tapi kenapa yang hidup hanya 1 ekor? Pak Hartono juga heran kenapa populasi waletnya tidak berkembang dari tahun ke tahun?
Ada beberapa kemungkinan, yaitu pertama, kondisi pakan walet berupa serangga-serangga kecil, belakangan ini sudah makin menipis. Di Jawa, areal persawahan mulai banyak berkurang. Hutan kurang subur lagi. Sungai-sungai banyak yang mulai mengering-menyempit, atau tercemar limbah. Bangunan pabrik, perumahan dll, makin menjamur. Suhu tiap tahun semakin naik/ panas. Suhu di kota Malang sudah mulai panas. Kota Batu yang dulu dingin, sekarang tidak sejuk lagi. Ini semua sangat mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya, populasi walet kurang bisa berkembang baik disebabkan persediaan makanan di alam yang semakin menyusut dari waktu ke waktu. Ini berakibat reproduksi walet terganggu. Dalam kasus ini, kesehatan embrio telur walet menjadi kurang sehat. Sehingga belum tentu, induk walet yang bertelur 2 butir akan menetas semua. Belum lagi frekwensi pengeraman induk yang kurang intensif, diakibatkan sumber pakan yang jauh sehingga telur jarang dierami, maka embrio telur yang butuh kehangatan tubuh induk tidak tercukupi. Ini berakibat perkembangan embrio telur tidak maksimal. Embrio telur mudah mati.
Menurut catatan saya, untuk areal pulau Jawa yang masih bagus untuk budidaya walet yaitu daerah Jawa Barat bagian selatan. Termasuk Rajamandala, Ciranjang Cianjur, Sindang barang, Sukabumi dan sekitarnya. Ini disebabkan areal hutannya, sungai dan persawahan relative masih subur. Sehingga perkembangan populasi walet juga masih bagus. Sebab kedua, bisa juga karena faktor musim kemarau yang terlalu panjang. Ini juga berkaitan dengan faktor makanan di alam sekitar yang berkurang, sehingga kesehatan walet saat berbiak juga kurang sehat. Maksud saya, di musim kemarau saat makanan serangga jumlahnya tidak banyak, maka karena kurang makanan, tubuh walet terlihat kurus. Akibatnya saat burung kecil ini “mengandung atau hamil”, telurnya juga tidak sehat. Jika 2 butir telur itu menetas, induknyapun akan kesulitan mensuplai makanan untuk 2 ekor anaknya. Logikanya, untuk dirinya sendiri saja kurang, apalagi untuk 2 ekor anaknya. Dalam kondisi ini, biasanya 1 ekor anak walet akan jadi korban, akhirnya mati lemas karena kurang makanan. Hanya 1 ekor piyik yang hidup, meski belum tentu sehat. Jika induknya kurus, biasanya anaknya juga kurus.
Kondisi piyik-piyik yang tidak sehat ini, akan beresiko dalam rentang perjalanan waktu menuju seekor walet yang dewasa. Belum tentu piyik ini selamat sampai dewasa. Faktor jarak lokasi pakan yang jauh, akan be-resiko. Piyik yang masih muda (apalagi piyik muda yang kurang sehat), tentu belum kuat untuk terbang jauh. Bisa jadi ia mengalami kelelahan dalam perjalanan. Seleksi alam-pun terjadi. Walet yang lemah, yang tidak kuat, yang sakit, akan segera mati. Ada 2 cara kematian dalam proses seleksi alam ini. Walet mati karena disergap kelelawar/ elang. Atau mati kelelahan yang akhirnya jatuh ke tanah. Jika jumlah anak-anak walet yang tidak sehat ini sangat banyak, maka wajar saja jika populasi walet tidak bisa berkembang normal.