Jumlah gedung walet mangkrak atau tidak terurus di daerah Jawa, saya perkirakan sangat banyak jumlahnya. Sebab sepanjang jalur pantura Jawa Tengah (bagian barat), yaitu sejak dari Alas Roban, Subah, Batang, Pekalongan, Wiradesa, Comal, Pemalang, Suradadi, Tegal, hingga Brebes banyak gedung walet terlihat tidak terawat atau tidak terurus.
Di sepanjang jalur pantura rata-rata bangunan gedung walet permanen, tanpa rumah monyet, dengan ukuran LMB yang sempit.
Sebagian saya lihat masih ada puluhan ekor seriti dan walet, namun tidak sedikit yang kosong melompong, bahkan ada yang dihuni kelelawar.
Fisik bangunan tampak masih kokoh dan utuh, namun ada juga yang atap gentengnya lepas. Halaman sekitar gedung walet ditumbuhi rumput liar atau semak yang lebat, sehingga untuk berjalan menuju pintu gedung walet kadang muncul rasa kawatir siapa tau kaki menginjak binatang melata seperti ular.
Jumlah gedung walet mangkrak sulit dihitung. Itulah yang saya lihat sepanjang perjalanan darat dari Kendal ke Brebes minggu kemarin.
Sebelumnya saya juga melakukan perjalanan darat ke Pelabuhan Ratu. Pemandangan serupa yaitu gedung walet mangkrak terlihat di berbagai kota di Jawa Barat antara lain di Jatibarang, Pemanukan, Subang, Kerawang, Ciasem, Purwadadi, Purwakarta, Padalarang, Rajamandala, Cianjur, hingga Sukabumi. Tentu masih banyak lagi gedung walet mangkrak yang dibiarkan begitu saja.
Bulan sebelumnya saya ke Pameungpeuk, kota kecil di pinggiran pantai selatan Kabupaten Garut. Gedung walet sepi tidak terawat tanpa suara. Jika menggunakan suara itupun asal asalan saja. Hanya burung kapinis atau seriti yang menghuninya. Jika ada populasi walet di dalam gedung tersebut, jumlahnya tidak seberapa.
Di wilayah Tasikmalaya, Ciamis, Sumedang, Pegaden, Majalengka, dan daerah di Jawa lainya juga terlihat beberapa gedung walet merana.
Dalam perjalanan tgl 5 April kemarin tujuan pertama saya ke kota bawang merah Brebes. Saya diundang bp. H. Tarmidzi yang gedung waletnya berlokasi di Ketanggungan, tidak jauh dari pintu Tol Pejagan.
Ini kedatangan saya yang kedua kali. (Kedatangan pertama sekitar 6 tahun lalu).
Gedung walet beliau dibangun permanen dengan tinggi 3 lantai, ukuran 8 m x 8 m. Voidnya 4 mx 4m.
Dinding bangunan tersusun dari batu bata dobel. Tebal tembok sekitar 60 cm. Panas matahari tak bisa tembus ke dalam, sehingga suhu dan kelembapan memenuhi syarat. Papan sirip dari kayu jati yang anti jamur. Lantai bawah dibuat kolam dengan sedikit air menggenang dengan ditaburi batu kerikil.
Saya tidak mengatur lagi posisi LMB. Masih dalam posisi LMB lama. Begitupun tata ruangnya, masih tetap utuh. Namun banyak twiter yang sudah mati. Kabel juga harus diganti yang baru.
Sebelumnya gedung sempat produktif hingga 2 tahun, populasi walet berkembang sangat bagus. Pak Haji Tarmidzi sudah menikmati manisnya panen sarang walet.
Saat itu populasi walet mulai berkembang tapi predator merusak semuanya. Burung hantu memangsa dan membuat populasi walet trauma.
Disisi lain pemilik gedung jarang kontrol. Mesin audio rusak. Tak ada lagi bunyi suara panggil, tarik, dan inap. Apa akibatnya? Yaitu semakin hari semakin menyusut populasi walet, hingga akhirnya gedung menjadi kosong seperti semula sebelum saya tangani. Jadi kedatangan saya kali ini menangani ulang gedung milik bpk H. Tarmidzi.
Tak jauh dari lokasi gedung ini, beliau juga memiliki ruko yang pada lantai atas dihuni ratusan burung seriti bersarang.
” Bisakah diatur juga pak Arief, agar selain ada populasi seriti, burung walet bisa juga berkembang di atas ruko saya ini? ”
Saya jawab insyaallah bisa.
Saya atur tata ruangnya serta suhu dan kelembapan.
Burung seriti tak membutuhkan suhu dan kelembapan tinggi, serta lebih suka dengan cahaya remang ke terang. Berbeda dengan habitat burung walet yang membutuhkan cahaya remang ke gelap dengan suhu maksimal 29 ‘ C dan kelembapan minimal 65%.
Perjalanan saya berlanjut ke Jawa Barat bagian selatan. Jalan mulus berkelok melewati daerah hutan dan persawahan yang subur dengan potensi pakan walet yang cukup banyak. Di Tasikmalaya populasi burung seriti & walet sangat besar. Ada gedung walet yang produktif dengan hasil panen 100 kg hingga 200 kg. Namun tidak sedikit pula gedung walet yang tidak produktif atau tidak terurus dengan baik.
Saya sempat keliling ke gedung walet yang pernah saya tangani beberapa tahun lalu yang sekarang ini sudah produktif. Di sisi lain saya juga lihat beberapa gedung walet sepi antara lain di Salawu, Kawalu, juga di Singaparna.
Gedung walet mangkrak dimana mana. Ada yang sama sekali kosong bahkan digunakan ribuan kelelawar bersarang seperti yang saya lihat di pinggiran kota Palembang.
Kemungkinan pemilik sudah enggan untuk mengurus gedung waletnya lagi. Yang terjadi dibiarkan begitu saja. Investasi ratusan juta tanpa ada hasil. Gedung dibiarkan tak terurus, sepertinya pemilik sudah putus harapan.
Sementara di Kalimantan atau Sulawesi misalnya, banyak orang yang semangat menggebu membangun gedung walet agar memperoleh hasil ekonomi yang baik.
Kenapa terjadi gedung walet mangkrak?
Beberapa kemungkinan penyebab antara lain pertama, pemilik putus asa karena sudah dikelola bertahun tahun dengan investasi besar namun tak ada hasilnya.
Kedua, pemilik tak ada waktu mengelola karena sibuk dengan bisnis lain yang lebih menguntungkan sehingga gedung walet dibiarkan saja.
Ketiga, pemilik putus asa. Populasi walet yang semula produktif lambat laun semakin menyusut, bisa karena kesalahan teknik panen atau bisa juga faktor eksternal yang tidak lagi mendukung.
Ke empat, pengelola gedung sudah beda generasi. Orang tua sudah wafat sementara si anak tidak tertarik mengurus gedung walet. Mungkin tak ada minat atau karena tidak punya ilmu.
Apakah gedung walet mangkrak bisa diaktifkan lagi agar kembali produktif?
Ada beberapa syarat yang harus dicermati terlebih dahulu. Yaitu selain dari fisik gedung juga harus dilihat lingkungan sekitarnya. Jika faktor internal dan eksternal tersebut masih memenuhi syarat, maka sangat mungkin gedung walet yang mangkrak bisa diaktifkan kembali.
Gedung mangkrak bukan saja terjadi di Jawa. Di berbagai daerah baik di Sumatera atau Kalimantan tidak sedikit saya jumpai gedung walet tak produktif.
Sebagian sudah berubah fungsi. Ada yang dijual. Ada yang digunakan untuk usaha lain misalnya untuk gudang, ada yang dirombak menjadi cafe, bahkan ada yang disulap jadi hotel, seperti antara lain saya lihat di Sungailiat, Bangka.
Lalu apa yang musti dilakukan agar gedung walet tersebut kembali produktif?
Jika memang masih berminat usaha di bidang budidaya burung walet, maka silahkan diatur lagi, baik kondisi suhu kelembapan, tata ruang maupun tata suara secara benar.
Seperti halnya saya atur kembali gedung walet ( antara lain ) milik bpk H. Tarmidzi ini agar ke depan insyaallah kembali memberi manfaat ekonomi serta produktif.
Salam semangat.