Pola panen sangat berkorelasi dengan kelestarian populasi burung walet di sebuah tempat. Pada RBW yang sudah lama namun tetap produktif, mengindikasikan pola panen yang dilakukan sudah benar. Sebaliknya apabila ada RBW yang semula produktif namun setelah berjalan 7 atau 8 tahun, produksinya menyusut, itu ada kemungkinan karena pola panen yang dilakukan salah.
Kasus panen sarang gua walet di berbagai daerah bisa menjadi bukti bahwa pola panen yang salah akan berakibat rusaknya kelestarian populasi burung walet.
Tidak sedikit gua walet yang semula menghasilkan puluhan ton sarang burung walet, namun belakangan hanya bisa panen sarang puluhan kilogram saja. Gua walet produktif yang semula menjadi ikon sebuah kota ( salah satunya di Jawa Tengah), kini hanya tinggal kenangan.
Hal itu seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, para petani walet dimana pola panen sarang yang dilakukan harus benar agar populasi burung walet yang menghuni RBW tetap berkembang lestari kendati sudah berjalan puluhan tahun.
Belum lama saya jalan-jalan di sebuah sentra walet di Kalimantan Tengah. Tidak jauh dari kota Sampit. Ini adalah kota walet yang sangat padat. Saya memotret dari ketinggian menggunakan drone. Ribuan RBW berdiri di kota ini. Menjadi pemandangan yang menarik. Tapi kabar buruknya populasi burung walet tidak ” sebanding” dengan jumlah RBW.
Banyak RBW yang kurang produktif. Bahkan tidak sedikit RBW yang gagal tidak dihuni burung walet alias kosong. Beberapa kali saya diminta tolong menjualkan RBW kosong.
Mengapa itu terjadi?
Karena perkembangan populasi burung walet terhambat atau terganggu akibat pola panen yang keliru. Kelestarian populasi burung walet berkorelasi secara signifikan dengan cara panen yang dilakukan.
Saya punya sahabat sekaligus member yang menerapkan disiplin panen. Panggilan sehari-hari Pak Yoyok. Usia 45 tahun. Beliau asli suku Jawa namun sejak bujangan sudah tinggal di Parenggean Kalimantan Tengah. RBWnya sudah dibangun sejak 7 tahun lalu. Itu termasuk RBW awal di lingkunganya. Beliau disiplin panen tetasan, yaitu panen setelah anak walet bisa terbang. Ini untuk menjaga kelestarian populasi walet agar usaha budidaya walet ini bisa bertahan jangka panjang hingga anak cucu, ujarnya.
” Pak Yoyok, harga sarang saat ini yang grade plontos menyentuh angka 16.5 juta/ kg. Kapan sarang punya sampean dipanen?” tanya Mas Widodo agen Parenggean menggoda.
Pak Yoyok tidak menjawab. Hanya tersenyum tipis. Lantas menyeruput kopi.
Harga sarang yang tinggi sering menjadi godaan. Istilah sarang plontos yaitu sarang mangkok yang putih bersih. Kualitas sarang semacam ini sebagian besar diperoleh dari cara panen rampasan atau buang telur. Panen rampasan yaitu mengambil sarang sebelum burung walet bertelur. Sedangkan istilah panen buang telur, yaitu cara panen sarang meski ada telurnya. Kedua cara panen ini merugikan kelestarian populasi burung walet. Maka wajar pak Yoyok hanya tersenyum sebagai isyarat tidak mungkin melakukan panen diluar panen tetasan, kendati harga pasaran tinggi.