Potensi walet di Kalimantan Selatan, memang sangat luar biasa. Salah satunya di Amuntai. Ini adalah kota kecil yang bisa di tempuh perjalanan darat sekitar 4 jam dari Banjarmasin, melalui Banjarbaru-Martapura-Kandangan.
Siang itu saya mendarat di Bandara Samsudin Noer, Banjarmasin. Teman saya sudah menunggu agak lama. Ini karena pesawat yang saya tumpangi, dari Semarang-Banjarmasin terlambat. Tapi, Alhamdulillah, saya bisa memenuhi tugas. Hujan rintik-rintik menemani perjalanan kami ber empat menuju Buntok. Untuk ke Buntok, bisa juga melalui jalur Palangkaraya-Buntok. Namun kali ini saya ingin melihat potensi walet di jalur Banjarmasin-Buntok. Kebetulan banyak member saya yang tinggal di jalur ini.
Sebelum melanjutkan perjalanan yang cukup jauh, saya mengisi perut di Banjarbaru. Sekalian ketemu member lama saya H. Misrani. Harusnya saya masuk mengontrol gedung walet beliau yang terletak di seputaran pasar, namun siang itu hujan dan angin rebut melanda Banjarbaru. Maka, batal acara kontrol dalam gedung.
Kontrol gedung walet memang jangan saat hujan deras. Sebab, walet sedang nyaman di dalam gedung. Jika kita masuk ke dalamnya, dikawatirkan akan mengganggu kenyamanan populasi walet. Jika kita memaksa masuk ke dalam, pasti walet akan keluar gedung. Padahal kondisi lagi hujan deras. Ini tentu tidak saya anjurkan. Jadi, lebih baik saya batalkan acara kontrol gedung pak Haji.
Mendengar penjelasan saya, H. Misrani bisa paham. Lain kali saya akan kontrol gedung bapak, kata saya menghibur. Acara selanjutnya kita rame-rame makan, diselingi cerita H. Misrani soal perkembangan waletnya yang terus menggembirakan. Saya masih ingat cerita lucu beliau 1 tahun yang lalu, yaitu walet yang bikin sarang pertama kali digedungnya, oleh beliau diberi piagam penghargaan juga piala. Pak Haji ini orangnya memang kocak. Suka begaya jar…
Hujan masih terus mengguyur bumi Kalimantan. Dan kami mau tidak mau harus segera melanjutkan perjalanan. Melewati Kota Intan Martapura, gedung-gedung walet berdiri di sepanjang jalan. Suara walet elektronik menambah ramainya kota yang terkenal dengan aneka macam perhiasan ini. Saya jadi ingat 7 tahun yang lalu, saat saya membantu Bpk. H. Gafur. Gedung waletnya berdiri pinggir jalan protokol tidak jauh dari pasar Martapura. Di bawahnya untuk usaha bengkel sepeda motor. Sekarang populasi waletnya tentu sudah ribuan. Biarpun di bawah untuk usaha bengkel, dengan suara yang bising dan asap knalpot yang polutif, namun walet sama sekali tidak merasa terganggu.
H. Gafur adalah pemain awal walet di Palangkaraya. Anak beliau, H. Aqli membuka usaha di Martapura. Saat awal pembangunan gedung walet, saya diminta untuk mengatur ini-itu nya. Alhamdulillah sekarang sudah luar biasa menghitung sarangnya.
Pak sopir, terus konsentrasi membawa mobilnya. Jalur darat ini sungguh sangat mulus. Sekitar 2 tahun yang lalu, saat saya melalui jalan ini menuju Tanjung, aduuhhh… jalannya berlubang-lubang….sakit pang ! Ini karena banyak truk batu bara yang melalui jalan ini sehingga badan jalan cepat hancur. Jalan sering macet, karena padat truk batu bara. Sekarang pihak pemerintah setempat melarang pengangkutan batu bara melalui darat, sebagai gantinya, batu bara diangkut melalui jalur sungai. Maka, mobil yang kami tumpangi melaju dengan sangat nyaman, karena jalan sangat awet mulus. Perjalanan yang jauh jadi tidak terasa melelahkan.
Mobil masuk daerah Kandangan. Saya teringat ada salah seorang member di daerah ini. Saya coba mencari nama beliau di kontak HP saya. Segera saya call…terdengar jawaban operator…nomor yang anda hubungi saat ini tidak aktiv atau sedang di luar jangkauan. Jadi, saya tidak bisa silaturahmi ke tempat member saya. Ya sudah. Gak apa-apa. Toh saya juga mendadak menghubungi beliau. Sebagai gantinya, kami menikmati ketupat Kandangan di warung Hj. Erna. Perut sudah kenyang. Tak lama kemudian Pak Imam, mulai melajukan mobilnya kembali.
Tak lama kemudian, kami memasuki kota Amuntai. Di sini belum banyak gedung walet dibangun. Mungkin, belum ada 15 gedung, kata teman saya. Padahal banyak walet beterbangan di langit. Potensi walet belum dimanfaatkan secara maksimal. Di sekitar kanan kiri jalan raya, walet beterbangan rendah dipermukaan rawa-rawa. Ini menunjukkan berlimpahnya serangga sebagai makanan burung walet. Dalam hati saya ….pasti disini walet cari gedung. Bukan gedung cari walet. Jika membangun gedung walet di sini, tentu proses keberhasilannya tidak akan lama.
Di tengah perjalanan, ada satu bangunan yang sangat menarik perhatian saya, yaitu gedung walet yang dibangun sangat sederhana. Dinding luarnya tampak dilapis daun rumbia. Ini sebagai upaya untuk menahan panas matahari. Saya menduga, bangunan gedung walet itu dari dinding papan atau dari bahan kalsibot. Adapun daun rumbia yang melapisi seluruh dinding luar, dimaksudkan sebagai pelindung baik dari panas maupun hujan. Ini sebagai upaya agar kondisi dalam gedung tetap bersuhu normal. Juga agar bangunan tersebut awet tidak cepat lapuk.
Saya jadi teringat pesan saya kepada banyak teman, untuk membikin gedung walet tak perlu banyak biaya. Gedung walet yang ideal bukan soal ukuran dan bukan soal bahan yang dipakai untuk membangun. Melainkan soal suhu dan kelembapan, serta cahaya harus sesuai dengan habitat walet. Jadi, ngapain bangun gedung walet dengan biaya mahal?
Nah, jika saat ini harga sarang turun, dengan membangun gedung walet yang hemat biaya, kita tidak terlalu pusing memikirkan kapan balik modal. Maksud saya, dengan investasi yang sedikit, biarpun harga sarang lagi anjlok, balik modalnya tetap tidak akan lama. Bagaimana menurut anda?