Salah seorang petani walet yang cukup sukses, sebut saja namanya H. Ralet di Kecamatan Samuda Kab. Sampit Kalimantan Tengah, pada sekitar tahun 2000 selalu memanen sarang waletnya dengan cara panen rampasan. Sarang walet hasil panen rampasan, kualitasnya memang sangat bagus. Warnanya masih putih serta kondisi bersih sebab belum pernah dipakai induk walet untuk mengasuh anaknya. Sehingga harganya mahal. Pada saat itu hanya dia sebagai “penguasa tunggal pemain walet” di tempat itu.
Dengan pola panen rampasan, memang walet mengalami stress, namun walet tidak pindah ke lain gedung, karena memang tidak ada gedung walet lain selain punya dia. Waletnya tetap pulang ke dalam gedung kendati menangis sedih. Esoknya walet kembali akan membikin sarang baru dengan hati yang perih. “Tega nian manusia ini”, begitu kira-kira rintihan burung kecil ini. Sekarang ini beliu H. Ralet tidak bisa lagi melakukan panen dengan pola panen rampasan. Jika pola panen rampasan terus dilakukan, maka walet yang selalu mengalami stress akan berpindah ke gedung lain yang sudah siap menunggu. Pada sekitar tahun 2000 hanya terdapat 2 buah gedung walet saja di Samuda. Tahun 2009 ini, sudah berdiri 300-an gedung walet. Samuda-kota kecil yang terletak 40 kilometer dari Sampit, keadaan sekarang ini sudah padat gedung walet. Investasi di tempat ini sudah tidak lagi menjanjikan.
Tidak jauh dari Samuda, ada daerah namanya Pagatan. Populasi waletnya juga sangat potensial. Untuk menuju Pagatan, harus naik sampan menyusuri sungai dan melewati laut lepas memakan waktu sekitar 2 jam dari Sampit. Mahruji, pegawai kesehatan di tempat itu menikmati limpahan rejeki dari sarang walet karena dia satu-satunya pemilik gedung walet di daerah tersebut. Mahruji juga selalu melakukan pola panen rampasan. Pengaruhnya saat itu belum ia rasakan. Walet tetap pulang ke rumahnya meskipun sering mengalami stress. Namun belakangan, ketika Pagatan mulai banyak dibangun gedung walet baik oleh orang local maupun pendatang, walet yang sedih dan stress karena pola panen rampasan ini, sangat mungkin akan hijrah ke gedung-gedung baru. Yaitu gedung yang diharapkan lebih aman untuk melanjutkan rantai reporoduksi walet secara alami. Panen rampasan tak ubahnya mengeksploitasi burung berbulu coklat gelap ini agar selalu membikin sarang, tanpa memberi kesempatan untuk berbiak. Walet difungsikan sebagai mesin produksi pencetak rupiah. Melhat istilah atau bahasa yang digunakan dalam pola panen ini : “rampasan” sudah berkonotasi negative. Yaitu merampas sarang walet, merampas hak hidup piyik-piyik walet.
Di bumi Kalimantan, banyak terdapat gua-gua alam yang padat populasi walet. Sebagian besar pola panennya dengan cara panen rampasan. Ini bisa dimaklumi karena kondisi langit-langit gua yang relative tinggi dan sulit dijangkau tangan, sehingga sangat menyulitkan waktu panen. Maka, cara ambil sarangnyapun asal ambil. Hasil panen sarang gua sering rusak, sebab walet membikin sarangnya tersembunyi di lekuk bebatuan gua. Banyak korban telur dan piyik yang mati sia-sia berjatuhan ke dasar gua.. Tukang panen tak memperdulikan kejadian tersebut. Ia mengejar waktu dan target panen seperti yang diminta bosnya. Bahkan panen sarang gua dilakukan hingga 2 hari 2 malam non stop. Walet yang stress akhirnya hijrah ke kota mencari tempat baru. Akibat panen rampasan, walet melakukan migrasi dari gua ke kota.